Sabtu, 16 Maret 2013

Secangkir Kopi dan Senja


Sore itu di teras rumah yang sangat sederhana, seorang Ayah yang telah melewati umur separuh abad tengah menikmati sore dengan secangkir kopi dan rokoknya, suasana warna jingga menyelimuti langit waktu itu, Dia menyeruput kopi panasnya yang telah menjadi hangat lalu kembali memandang jingganya langit sambil menghisap rokoknya, pikirannya seperti melayang seketika di sore itu. “Pak, lagi mikirin opo toh Pak?”, suara dari wanita yang juga telah lebih separuh abad itu manghamburkan pikirannya yang baru saja mulai berkelana. “Ah Ibu bikin Bapak kaget saja, Aku tidak memikirkan opo – opo toh Bu. Hanya menikmati udara sore sambil ngopi”, balasnya. “Jangan bohong toh Pak, wong Kita nikah sudah hampir setengah abad, moso iya Ibu tidak tahu kalau Bapak lagi mikirin sesuatu”, sahut istrinya. Suaminya pun menghela nafas sebentar, mengangkat secangkir kopi lagi, menghirup aroma khas kopi dan menyeruputnya kembali. Pikirannya kembali mengambang, mengingat wajah mungil itu. “Pasti Bapak lagi mikirin puteri Kita, Naya, ya kan Pak? Apa lagi toh Pak yang mesti dipikirin? Lah wong anaknya sudah bahagia, punya keluarga kecil, karir bagus, anak – anak yang lucu dan suami yang bertanggung jawab”, tanya istrinya. “Ndak mikirin yang macam – macam koq Bu, hanya mungkin sedang kangen saja. Tidak terasa waktu cepat sekali ya Bu, perasaan Naya baru brojol dari perutmu kemarin”, jawab suaminya. “hmmm.. “, gumam istrinya. “Lah iyalah Pak, moso iya mau kecil terus, ingat sekarang Kita sudah punya dua cucu loh Pak yang lucu dan ngangenin persis seperti Naya anak Kita satu – satunya”, balas istrinya. Suasana hening seketika, secara tidak sadar, suami istri yang sudah sepuh itu melayang bersama pikirannya masing – masing, mengingat kenangan di masa lalu, di waktu Mereka masih mengasuh anak semata wayangnya berdua. Sekarang Naya gadis kecil Mereka, sudah dewasa dan mempunyai keluarga kecil.

Naya tinggal bersama suaminya di Jakarta. Naya juga seorang wanita karir yang cukup mempunyai jabatan di kantornya. Dia anak satu - satunya tapi sangat mandiri dan tangguh. Itu semua karena didikan kedua orang tuanya yang cukup disiplin dan tegas. Dan Naya, puteri Mereka yang kini jauh tinggal di Ibukota, dipisahkan oleh jarak dengan Mereka berdua.

Karena kesibukan Naya sebagai seorang Direktur keuangan di kantornya, Dia jarang mengunjungi orang tuanya yang berada di Solo. Paling hanya berkomunikasi dengan telepon, itu pun hanya sewaktu di akhir pekan, dikarenakan hari – hari kerjanya sudah cukup sibuk dan ditambah pula mengurus kedua belahan hatinya. Walaupun ada asisten rumah tangga yang membantu pekerjaan rumah sekaligus menjaga kedua anaknya sewaktu Naya dan suaminya pergi bekerja, tapi Naya selalu mengontrol kegiatan rumah dari jarak jauh, seperti rajin menelepon sampai memasang CCTV di rumahnya.

Naya dan keluarga pulang ke Solo hanya pada saat hari raya Idul Fitri, liburan kenaikan kelas ataupun jika libur di hari raya tertentu. Suami Naya adalah seorang editor di salah satu media cetak, dan berkantor di Jakarta juga. Secara finansial memang Naya lebih unggul dibanding suaminya, namun bersyukurlah Naya karena sang suami adalah suami yang sangat mendukung dan menghargai keputusan istrinya. Urusan rumah tangga, Mereka berdua selalu berbagi dan saling dikomunikasikan, misalnya dalam mengurus anak, Mereka tetap mencari cara agar anak dapat terurus selama Mereka bekerja.

Pada umumnya hari Jumat adalah hari yang ditunggu oleh setiap pekerja kantoran, termasuk oleh Naya. Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaan kantornya, Dia pun bergegas bersiap untuk pulang. Dilirik jam tangannya, “Ah masih jam 5 sore, pasti bakalan macet banget”, pikir Naya. Dia pun berjalan menuju jendela di ruangannya, dilihatnya jalanan Ibukota dari ruangnya yang terletak di lantai 12, “Jakarta, bukan Jakarta namanya kalau tidak ada macet”, gumam Naya dalam hati. Jalanan sore itu pun sangat padat, daerah Sudirman memang selalu padat pada hari kerja.

Naya kembali menuju mejanya, dilihatnya ada sebungkus kopi, “Ngopi dulu lah ya”, pikir Naya. Naya pun membuat kopinya sendiri. Dia kembali berjalan menuju jendela di ruangannya, setelah menyeruput kopinya, Dia memandang langit jingga di hamparannya. “Senja yang cantik sekali”, gumam Naya. Lalu secara perlahan seperti nampak bayangan suami dan anak – anaknya dari jingganya langit, Naya pun tersenyum mengingat kelucuan anak – anaknya. Lalu seperti berganti slide di power point, wajah kedua orang tuanya pun nampak di jingganya langit, Dia kembali tersenyum, tak terasa air matanya menitik, lalu pikirannya pun kembali mengingat wajah dan suara dari kedua orang tuanya, mengingat bagaimana raut wajah kedua orang tuanya yang khawatir jika Naya memanjat pohon mangga di depan rumahnya, bagaimana raut senang dari wajah orang tuanya sewaktu pembagian rapot karena Naya selalu masuk 3 besar dan bagaimana Mereka memarahi Naya jika Naya pulang terlambat tanpa pemberitahuan ijin pamit akan pergi kemana. Dulu Ayah Naya senang sekali mengajak Naya pergi berkeliling desa, bermain di sawah dekat rumahnya dan bermain layangan sore hari ataupun bermain di sungai kecil di dekat rumahnya juga. “Ah Bapak Ibu, Naya kangen”, suara Naya terdengar dengan nada pelan.

Naya kembali menyeruput kopinya beberapa kali, lalu mengambil telepon genggamnya, Dia langsung menekan phone book nya dan mencari kontak dengan nama Bapak, terdengar nada sambung, tidak begitu lama lalu terdengar suara Halo. “Halo Bapak, Assalamualaikum Pak. Sehat Pak?”, jawab Naya. “Waalaikum salam nak, sehat Alhamdulillah berkat doa Naya, Bapak Ibu sehat. Kamu, suami dan anak – anak gimana Nay, sehat”, tanya Ayah.”Sehat pak. Lagi apa Pak? Ibu lagi apa?”, tanya Naya kembali. “Lagi duduk – duduk di teras nak sambil ngopi dan nikmati sore. Kamu belum pulang nak? Masih banyak kerjaan ya?”, tanya Ayah kembali. “Pulangnya nanti dulu Pak, bukan karena kerjaan tapi diluar masih macet, nanti jam 6 - an Naya pulangnya. Wah sama ya Pak kayak Aku, lagi ngopi sambil lihat jingganya langit”, jawab Naya. “Hehee iya lah nak, seperti kata orang bule, like father like son”, jawab Ayah kembali. “Tapi son itu kan anak laki – laki Pak, Naya kan perempuan, harusnya like father like daughter”, jawab Naya lagi. “Ah Bapak ngga ngerti nduk mau san, son daughter atau dokter yang penting buat Bapak artinya anak sama Bapak itu ngga ada bedanya”, jawab Ayah. Mereka berdua pun tertawa bersama. Mereka melanjutkan obrolan yang lain, Ayah menanyakan kapan akan ke Solo, dan Naya menjawab bahwa liburan anak – anak sebentar lagi, Insya Allah Naya dan anak – anak akan ke Solo. Ayahnya pun terdengar sangat senang dengan jawaban Naya. Pembicaraan keduanya pun berakhir. Naya kembali menyeruput dan menghabiskan kopinya, sama seperti jingga langit yang hampir selesai sore itu.

Malam itu setelah anak – anaknya pergi tidur, Naya memulai pembicaraan dengan suaminya tentang apa yang dialaminya sore itu. “Ayah, Kita  jadi liburan ke Solo kan ya?”, tanya Naya. “Jadi koq, kan Kita sudah bicarakan ini sejak lama”, jawab suaminya. Naya pun kembali bertanya, “Ayah, kira – kira kalau Aku buka usaha, Ayah setuju ngga ya?”, tanya Naya kembali. “Usaha? usaha apa? kerjaan kamu kenapa memangnya?”, tanya suaminya kembali. “Kerjaan baik – baik saja koq, tapi Aku ingin mau tetap bekerja tapi tetap full juga mendampingi anak – anak tiap harinya. Kira – kira ada ngga ya kerjaan yang bisa seperti itu?”, tanya Naya. “Hmmm... ada aja siy Bund, Aku juga sempat kepikiran kayak gitu, kasihan kalau anak – anak terlalu banyak sama orang lain”, jawab suaminya. “Iya yah, Aku sampai sekarang masih mengingat bagaimana orang tuaku selalu mendampingi Aku setiap harinya, terutama Ibu. Aku agak takut kalau anak – anak tidak dapat mengingat masa kecilnya bersamaku karena Aku yang jarang mendampingi Mereka. Hanya saat hari libur saja. Berangkat kerja, anak – anak juga sedang siap – siap ke sekolah, Aku pulang kerja, kadang Mereka sudah tidur karena kecapean seharian sekolah dan les. Koq waktuku kyanya banyak terbuang tidak bersama Mereka ya, tahu – tahu sudah pada besar saja. Aku ingin mendampingi Mereka belajar dan bermain setiap hari. Tidak mau melewati waktu tanpa Mereka. Dulu Ibu selalu nemenin Aku setiap hari, tapi Ibu juga bekerja dengan cara membuka usaha menjahit pakaian di rumah. Ayah pun pulang kerja tidak terlalu malam, jadi Aku masih bisa bermain bersama Ayah di sore hari. Cuma di Jakarta saja ya yah yang waktunya banyak terbuang di jalanan”, jawab Naya panjang lebar bahkan cenderung seperti curhat. “Memangnya mau usaha apa kira – kira Bund?”, tanya suaminya. “Itu Dia Ayah, Aku tidak tahu mau usaha apa, belum ada pengalaman, karena terlalu banyak bekerja untuk usahanya orang lain”, jawab Naya kembali. “Coba nanti tak cari jawabannya ya Bund kira – kira mau usaha apa, coba Bunda besok bantu dengan browsing ya” jawab Ayah. “Okee Ayaaaah.. siaaaap”, jawab Naya kembali. Mereka pun saling tersenyum.

Naya dan suaminya mulai mencari – cari info, setelah mencari info kesana sini, akhirnya Mereka sepakat untuk membuka usaha dalam bidang pendidikan. Menurut Mereka, bidang usaha pendidikan banyak manfaatnya, karena Mereka juga turut membantu siswa untuk berprestasi di sekolah. Mereka pun menyusun rencana berikutnya, bahwa yang Mereka usahakan adalah tempat bimbel. Bimbel atau bimbingan belajar ini hanya untuk matematika anak sekolah dasar saja, kebetulan anak – anaknya juga masih SD, nanti kalau memungkinkan Mereka akan mengembangkannya kembali ke mata pelajaran yang lain dan tingkat yang lebih tinggi. Banyak metode yang dapat digunakan dalam mengerjakan matematika, Naya pun mulai mendaftarkan diri untuk mengikuti pelatihan di salah satu bimbel yang sudah Dia pilih. Selain menjadi founder, Dia pun berniat untuk menjadi guru pengajar juga karena Naya memang senang mengajar, dulu sewaktu kuliah, Naya sering menjadi asisten dosen.

Naya mengambil beberapa hari untuk cuti, mulai bertahap melangkah untuk membangun usaha tersebut dengan cara melakukan pelatihan metode pembelajaran yang akan diterapkan nantinya. Naya pun semakin optimis usahanya akan berhasil. Dibantu suaminya, Mereka mulai menyebar brosur dan mencari guru pengajar yang tepat pula. Suaminya pun membantunya untuk mendapatkan lokasi.

“Anak – anaaaak, sore ini Kita ke monas yuk sepertinya seru“, seru suami Naya kepada kedua anaknya. “Mauuuuuu horeeeeee”, sambut anak – anaknya. “Aku mau main bola sama layangan ya yah”, tanya anak bungsunya. “Siiiiip Kita habiskan sore hari ini di monas ya Bund”, jawab suami Naya. Naya pun tersenyum melihat suami dan anak – anaknya dan menganggukkan kepala tanda setuju.

Seru sekali sore itu, sorenya cerah dan Mereka terlihat seperti keluarga yang sempurna. Naya tidak lupa mengucap syukur Alhamdulillah dalam hati karena dapat menikmati hari itu dengan perasaan yang sangat bahagia. Anak – anaknya masih asik main layangan, Naya dan suaminya mengawasinya sambil duduk di pinggir taman. “Bund, apa tidak sayang ya dengan karirmu”, tanya suaminya tiba –tiba. “Aku lebih sayang waktuku yah”, jawab Naya. “Kalau misalnya usaha Kita tidak berjalan lancar, apa Kamu siap Bund hidup dari gajiku yang tidak seberapa”, tanya suaminya kembali. “Aku juga bukan wanita yang suka menghamburkan uang, Aku sudah memikirkan hal itu juga yah, kalau ditanya siap atau tidak, Insya Allah Aku siap yah. Mulai sekarang Kita sortir keperluan yang tidak penting dan mendahulukan yang penting. Gajimu Insya Allah dapat menghidupi Aku dan anak – anak”, jawab Naya. Suaminya pun tersenyum senang mendengarnya, karena memang walau dengan karir dan gaji yang lebih tinggi dari Dia, tapi Naya adalah seorang istri yang sangat menghormati suaminya dan dapat mengatur pengeluaran dengan sangat baik. “Ayah, dari dulu Aku selalu suka senja. Senja itu seperti waktu dimana Aku dapat merenungkan kembali tentang perjalanan waktu yang lalu dan juga waktu untuk merenungkan langkah apa selanjutnya”, cerita Naya panjang lebar. “Dulu Ayahku sering berkata kepadaku, bahwa salah satu cara menikmati hidup adalah dengan menikmati senja yang hanya kira – kira satu jam saja sambil minum kopi. Maka Kita akan menemukan hal – hal yang tak terduga setelahnya”, sambung Naya. “Dan Aku bahagia dengan keluarga kecilku dan bersyukur dilahirkan dan dibesarkan dengan kedua orang tua yang luar biasa. Dan yang paling bahagia lagi, Aku menikmati senja hari ini bersama suami dan anak – anakku”, sambung Naya kembali. “Tapi tanpa kopi Bund”, jawab suaminya. Mereka pun tertawa. “Kopiiii kopiiiiiii... kopinyaaa pak buuuu”, teriak penjual kopi yang lewat. “Nah itu Dia kopinya”, jawab Naya. Mereka pun tertawa kembali dan memesan kopi untuk dinikmati bersama senja hari itu.

Naya pun memberanikan diri untuk mengajukan surat pengunduran diri, banyak yang kaget dan merasa kehilangan mendengar berita itu, tapi Naya meyakinkan bahwa sudah saatnya posisi yang Dia jabati di regenerasi, sudah cukup hampir 10 tahun Naya berkarir di kantor ini. “Aku tidak akan melupakan perusahaan yang telah mempercayakan Aku bekerja disini, sangat bangga bekerja sama dengan tim yang hebat dan memulai karir dari bawah di perusahaan ini. Tapi Aku akan mulai melangkah menapaki impian lain dalam hidupku”, singkat penjelasan Naya kepada teman – teman kerjanya.

“Anak – anaaaak.. mulai besok Kita habiskan liburan di rumah eyang”, seru Naya. “Asiiiiik Buuund, Aku mau main – main di sawah sama eyang kakung”, jawab anak sulungnya. “Kalo Aku tidak sabar mau outbond sama eyang Bund”, anak yang bungsu menyahuti. Keesokan paginya Mereka sekeluarga berangkat ke Solo.

Sampai di Solo, kedua orang tua Naya menyambut dengan penuh suka cita, bagaimana tidak, sudah tak terbendung lagi rasa rindu kepada anak dan cucunya. “Berapa lama disini nak”, tanya Ayah Naya kepada Naya. “Sampai liburan selesai Pak”, jawab Naya. “Loh kamu cuti panjang ya nak”, tanya Ibunya. Naya pun menjelaskan tentang pengunduran diri dan usaha yang akan Dia bangun. Ayah dan Ibunya menanggapi dengan senang. “Syukurlah nak, Bapak dan Ibu hanya dapat memberi restu semoga niat Kamu dan suami dapat berjalan lancar”, jawab Ayah.

Sore itu, di teras rumah di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, terdengar suara tawa dan riuh suara anak – anak. “Ayooo yang mau kopiii panaaas kopiii panaaaas”, Ibunya Naya berteriak menawarkan kopi kepada anggota keluarganya. Mereka semua pun tertawa melihat tingkah wanita yang sudah semakin sepuh. Ayahnya Naya meyeruput kopi pertamanya sore itu, “senjanya bagus ya Nay”, tanya Ayah kepada Naya. “Iya Pak, Alhamdulillah”, jawab Naya. Sekilas terbayang wajah dan tingkah laku Naya sewaktu kecil dipikiran lelaki sepuh itu, namun rasa rindu itu terobati dengan kehadiran Naya dan keluarga kecilnya.

Senja itu, langit jingga itu, rumah sederhana itu, secangkir kopi itu, wajah dan suara Bapak, Ibu, suami dan anak – anaknya, “Alhamdulillah Tuhan, terima kasih atas segalanya. Semoga kami selalu dalam perlindunganMu dan diberi kesehatan”, doa Naya dalam hati. “Dan terima kasih, senja. Kau ajarkan Aku banyak hal”, ucapnya lagi dalam hati.

Semoga Manfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar