Sore itu
di teras rumah yang sangat sederhana, seorang Ayah yang telah melewati umur
separuh abad tengah menikmati sore dengan secangkir kopi dan rokoknya, suasana
warna jingga menyelimuti langit waktu itu, Dia menyeruput kopi panasnya yang
telah menjadi hangat lalu kembali memandang jingganya langit sambil menghisap
rokoknya, pikirannya seperti melayang seketika di sore itu. “Pak, lagi mikirin
opo toh Pak?”, suara dari wanita yang juga telah lebih separuh abad itu
manghamburkan pikirannya yang baru saja mulai berkelana. “Ah Ibu bikin Bapak
kaget saja, Aku tidak memikirkan opo – opo toh Bu. Hanya menikmati udara sore
sambil ngopi”, balasnya. “Jangan bohong toh Pak, wong Kita nikah sudah hampir
setengah abad, moso iya Ibu tidak tahu kalau Bapak lagi mikirin sesuatu”, sahut
istrinya. Suaminya pun menghela nafas sebentar, mengangkat secangkir kopi lagi,
menghirup aroma khas kopi dan menyeruputnya kembali. Pikirannya kembali
mengambang, mengingat wajah mungil itu. “Pasti Bapak lagi mikirin puteri Kita,
Naya, ya kan Pak? Apa lagi toh Pak yang mesti dipikirin? Lah wong anaknya sudah
bahagia, punya keluarga kecil, karir bagus, anak – anak yang lucu dan suami
yang bertanggung jawab”, tanya istrinya. “Ndak mikirin yang macam – macam koq
Bu, hanya mungkin sedang kangen saja. Tidak terasa waktu cepat sekali ya Bu,
perasaan Naya baru brojol dari perutmu kemarin”, jawab suaminya. “hmmm.. “,
gumam istrinya. “Lah iyalah Pak, moso iya mau kecil terus, ingat sekarang Kita
sudah punya dua cucu loh Pak yang lucu dan ngangenin persis seperti Naya anak
Kita satu – satunya”, balas istrinya. Suasana hening seketika, secara tidak
sadar, suami istri yang sudah sepuh itu melayang bersama pikirannya masing –
masing, mengingat kenangan di masa lalu, di waktu Mereka masih mengasuh anak
semata wayangnya berdua. Sekarang Naya gadis kecil Mereka, sudah dewasa dan
mempunyai keluarga kecil.
Naya
tinggal bersama suaminya di Jakarta. Naya juga seorang wanita karir yang cukup
mempunyai jabatan di kantornya. Dia anak satu - satunya tapi sangat mandiri dan
tangguh. Itu semua karena didikan kedua orang tuanya yang cukup disiplin dan
tegas. Dan Naya, puteri Mereka yang kini jauh tinggal di Ibukota, dipisahkan
oleh jarak dengan Mereka berdua.
Karena
kesibukan Naya sebagai seorang Direktur keuangan di kantornya, Dia jarang
mengunjungi orang tuanya yang berada di Solo. Paling hanya berkomunikasi dengan
telepon, itu pun hanya sewaktu di akhir pekan, dikarenakan hari – hari kerjanya
sudah cukup sibuk dan ditambah pula mengurus kedua belahan hatinya. Walaupun
ada asisten rumah tangga yang membantu pekerjaan rumah sekaligus menjaga kedua
anaknya sewaktu Naya dan suaminya pergi bekerja, tapi Naya selalu mengontrol
kegiatan rumah dari jarak jauh, seperti rajin menelepon sampai memasang CCTV di
rumahnya.
Naya dan
keluarga pulang ke Solo hanya pada saat hari raya Idul Fitri, liburan kenaikan
kelas ataupun jika libur di hari raya tertentu. Suami Naya adalah seorang
editor di salah satu media cetak, dan berkantor di Jakarta juga. Secara
finansial memang Naya lebih unggul dibanding suaminya, namun bersyukurlah Naya
karena sang suami adalah suami yang sangat mendukung dan menghargai keputusan
istrinya. Urusan rumah tangga, Mereka berdua selalu berbagi dan saling dikomunikasikan,
misalnya dalam mengurus anak, Mereka tetap mencari cara agar anak dapat terurus
selama Mereka bekerja.
Pada
umumnya hari Jumat adalah hari yang ditunggu oleh setiap pekerja kantoran,
termasuk oleh Naya. Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaan kantornya, Dia
pun bergegas bersiap untuk pulang. Dilirik jam tangannya, “Ah masih jam 5 sore,
pasti bakalan macet banget”, pikir Naya. Dia pun berjalan menuju jendela di
ruangannya, dilihatnya jalanan Ibukota dari ruangnya yang terletak di lantai
12, “Jakarta, bukan Jakarta namanya kalau tidak ada macet”, gumam Naya dalam
hati. Jalanan sore itu pun sangat padat, daerah Sudirman memang selalu padat
pada hari kerja.
Naya
kembali menuju mejanya, dilihatnya ada sebungkus kopi, “Ngopi dulu lah ya”,
pikir Naya. Naya pun membuat kopinya sendiri. Dia kembali berjalan menuju
jendela di ruangannya, setelah menyeruput kopinya, Dia memandang langit jingga
di hamparannya. “Senja yang cantik sekali”, gumam Naya. Lalu secara perlahan
seperti nampak bayangan suami dan anak – anaknya dari jingganya langit, Naya
pun tersenyum mengingat kelucuan anak – anaknya. Lalu seperti berganti slide di
power point, wajah kedua orang tuanya pun nampak di jingganya langit, Dia
kembali tersenyum, tak terasa air matanya menitik, lalu pikirannya pun kembali
mengingat wajah dan suara dari kedua orang tuanya, mengingat bagaimana raut
wajah kedua orang tuanya yang khawatir jika Naya memanjat pohon mangga di depan
rumahnya, bagaimana raut senang dari wajah orang tuanya sewaktu pembagian rapot
karena Naya selalu masuk 3 besar dan bagaimana Mereka memarahi Naya jika Naya
pulang terlambat tanpa pemberitahuan ijin pamit akan pergi kemana. Dulu Ayah
Naya senang sekali mengajak Naya pergi berkeliling desa, bermain di sawah dekat
rumahnya dan bermain layangan sore hari ataupun bermain di sungai kecil di
dekat rumahnya juga. “Ah Bapak Ibu, Naya kangen”, suara Naya terdengar dengan
nada pelan.
Naya
kembali menyeruput kopinya beberapa kali, lalu mengambil telepon genggamnya,
Dia langsung menekan phone book nya dan mencari kontak dengan nama Bapak,
terdengar nada sambung, tidak begitu lama lalu terdengar suara Halo. “Halo
Bapak, Assalamualaikum Pak. Sehat Pak?”, jawab Naya. “Waalaikum salam nak, sehat
Alhamdulillah berkat doa Naya, Bapak Ibu sehat. Kamu, suami dan anak – anak
gimana Nay, sehat”, tanya Ayah.”Sehat pak. Lagi apa Pak? Ibu lagi apa?”, tanya
Naya kembali. “Lagi duduk – duduk di teras nak sambil ngopi dan nikmati sore.
Kamu belum pulang nak? Masih banyak kerjaan ya?”, tanya Ayah kembali.
“Pulangnya nanti dulu Pak, bukan karena kerjaan tapi diluar masih macet, nanti
jam 6 - an Naya pulangnya. Wah sama ya Pak kayak Aku, lagi ngopi sambil lihat
jingganya langit”, jawab Naya. “Hehee iya lah nak, seperti kata orang bule, like
father like son”, jawab Ayah kembali. “Tapi son itu kan anak laki – laki Pak,
Naya kan perempuan, harusnya like father like daughter”, jawab Naya lagi. “Ah
Bapak ngga ngerti nduk mau san, son daughter atau dokter yang penting buat
Bapak artinya anak sama Bapak itu ngga ada bedanya”, jawab Ayah. Mereka berdua
pun tertawa bersama. Mereka melanjutkan obrolan yang lain, Ayah menanyakan
kapan akan ke Solo, dan Naya menjawab bahwa liburan anak – anak sebentar lagi,
Insya Allah Naya dan anak – anak akan ke Solo. Ayahnya pun terdengar sangat senang
dengan jawaban Naya. Pembicaraan keduanya pun berakhir. Naya kembali menyeruput
dan menghabiskan kopinya, sama seperti jingga langit yang hampir selesai sore
itu.
Malam
itu setelah anak – anaknya pergi tidur, Naya memulai pembicaraan dengan suaminya
tentang apa yang dialaminya sore itu. “Ayah, Kita jadi liburan ke Solo
kan ya?”, tanya Naya. “Jadi koq, kan Kita sudah bicarakan ini sejak lama”,
jawab suaminya. Naya pun kembali bertanya, “Ayah, kira – kira kalau Aku buka
usaha, Ayah setuju ngga ya?”, tanya Naya kembali. “Usaha? usaha apa? kerjaan
kamu kenapa memangnya?”, tanya suaminya kembali. “Kerjaan baik – baik saja koq,
tapi Aku ingin mau tetap bekerja tapi tetap full juga mendampingi anak – anak
tiap harinya. Kira – kira ada ngga ya kerjaan yang bisa seperti itu?”, tanya
Naya. “Hmmm... ada aja siy Bund, Aku juga sempat kepikiran kayak gitu, kasihan
kalau anak – anak terlalu banyak sama orang lain”, jawab suaminya. “Iya yah,
Aku sampai sekarang masih mengingat bagaimana orang tuaku selalu mendampingi
Aku setiap harinya, terutama Ibu. Aku agak takut kalau anak – anak tidak dapat
mengingat masa kecilnya bersamaku karena Aku yang jarang mendampingi Mereka.
Hanya saat hari libur saja. Berangkat kerja, anak – anak juga sedang siap –
siap ke sekolah, Aku pulang kerja, kadang Mereka sudah tidur karena kecapean
seharian sekolah dan les. Koq waktuku kyanya banyak terbuang tidak bersama
Mereka ya, tahu – tahu sudah pada besar saja. Aku ingin mendampingi Mereka
belajar dan bermain setiap hari. Tidak mau melewati waktu tanpa Mereka. Dulu
Ibu selalu nemenin Aku setiap hari, tapi Ibu juga bekerja dengan cara membuka
usaha menjahit pakaian di rumah. Ayah pun pulang kerja tidak terlalu malam,
jadi Aku masih bisa bermain bersama Ayah di sore hari. Cuma di Jakarta saja ya
yah yang waktunya banyak terbuang di jalanan”, jawab Naya panjang lebar bahkan
cenderung seperti curhat. “Memangnya mau usaha apa kira – kira Bund?”, tanya
suaminya. “Itu Dia Ayah, Aku tidak tahu mau usaha apa, belum ada pengalaman,
karena terlalu banyak bekerja untuk usahanya orang lain”, jawab Naya
kembali. “Coba nanti tak cari jawabannya ya Bund kira – kira mau usaha apa,
coba Bunda besok bantu dengan browsing ya” jawab Ayah. “Okee Ayaaaah..
siaaaap”, jawab Naya kembali. Mereka pun saling tersenyum.
Naya dan
suaminya mulai mencari – cari info, setelah mencari info kesana sini, akhirnya
Mereka sepakat untuk membuka usaha dalam bidang pendidikan. Menurut Mereka,
bidang usaha pendidikan banyak manfaatnya, karena Mereka juga turut membantu
siswa untuk berprestasi di sekolah. Mereka pun menyusun rencana berikutnya,
bahwa yang Mereka usahakan adalah tempat bimbel. Bimbel atau bimbingan belajar
ini hanya untuk matematika anak sekolah dasar saja, kebetulan anak – anaknya
juga masih SD, nanti kalau memungkinkan Mereka akan mengembangkannya kembali ke
mata pelajaran yang lain dan tingkat yang lebih tinggi. Banyak metode yang
dapat digunakan dalam mengerjakan matematika, Naya pun mulai mendaftarkan diri
untuk mengikuti pelatihan di salah satu bimbel yang sudah Dia pilih. Selain
menjadi founder, Dia pun berniat untuk menjadi guru pengajar juga karena Naya
memang senang mengajar, dulu sewaktu kuliah, Naya sering menjadi asisten dosen.
Naya
mengambil beberapa hari untuk cuti, mulai bertahap melangkah untuk membangun
usaha tersebut dengan cara melakukan pelatihan metode pembelajaran yang akan
diterapkan nantinya. Naya pun semakin optimis usahanya akan berhasil. Dibantu
suaminya, Mereka mulai menyebar brosur dan mencari guru pengajar yang tepat
pula. Suaminya pun membantunya untuk mendapatkan lokasi.
“Anak –
anaaaak, sore ini Kita ke monas yuk sepertinya seru“, seru suami Naya kepada
kedua anaknya. “Mauuuuuu horeeeeee”, sambut anak – anaknya. “Aku mau main bola
sama layangan ya yah”, tanya anak bungsunya. “Siiiiip Kita habiskan sore hari
ini di monas ya Bund”, jawab suami Naya. Naya pun tersenyum melihat suami dan
anak – anaknya dan menganggukkan kepala tanda setuju.
Seru
sekali sore itu, sorenya cerah dan Mereka terlihat seperti keluarga yang
sempurna. Naya tidak lupa mengucap syukur Alhamdulillah dalam hati karena dapat
menikmati hari itu dengan perasaan yang sangat bahagia. Anak – anaknya masih
asik main layangan, Naya dan suaminya mengawasinya sambil duduk di pinggir
taman. “Bund, apa tidak sayang ya dengan karirmu”, tanya suaminya tiba –tiba.
“Aku lebih sayang waktuku yah”, jawab Naya. “Kalau misalnya usaha Kita tidak
berjalan lancar, apa Kamu siap Bund hidup dari gajiku yang tidak seberapa”,
tanya suaminya kembali. “Aku juga bukan wanita yang suka menghamburkan uang,
Aku sudah memikirkan hal itu juga yah, kalau ditanya siap atau tidak, Insya
Allah Aku siap yah. Mulai sekarang Kita sortir keperluan yang tidak penting dan
mendahulukan yang penting. Gajimu Insya Allah dapat menghidupi Aku dan anak –
anak”, jawab Naya. Suaminya pun tersenyum senang mendengarnya, karena memang
walau dengan karir dan gaji yang lebih tinggi dari Dia, tapi Naya adalah
seorang istri yang sangat menghormati suaminya dan dapat mengatur pengeluaran
dengan sangat baik. “Ayah, dari dulu Aku selalu suka senja. Senja itu seperti
waktu dimana Aku dapat merenungkan kembali tentang perjalanan waktu yang lalu
dan juga waktu untuk merenungkan langkah apa selanjutnya”, cerita Naya panjang
lebar. “Dulu Ayahku sering berkata kepadaku, bahwa salah satu cara menikmati
hidup adalah dengan menikmati senja yang hanya kira – kira satu jam saja sambil
minum kopi. Maka Kita akan menemukan hal – hal yang tak terduga setelahnya”,
sambung Naya. “Dan Aku bahagia dengan keluarga kecilku dan bersyukur dilahirkan
dan dibesarkan dengan kedua orang tua yang luar biasa. Dan yang paling bahagia
lagi, Aku menikmati senja hari ini bersama suami dan anak – anakku”, sambung
Naya kembali. “Tapi tanpa kopi Bund”, jawab suaminya. Mereka pun tertawa.
“Kopiiii kopiiiiiii... kopinyaaa pak buuuu”, teriak penjual kopi yang lewat.
“Nah itu Dia kopinya”, jawab Naya. Mereka pun tertawa kembali dan memesan kopi
untuk dinikmati bersama senja hari itu.
Naya pun
memberanikan diri untuk mengajukan surat pengunduran diri, banyak yang kaget
dan merasa kehilangan mendengar berita itu, tapi Naya meyakinkan bahwa sudah
saatnya posisi yang Dia jabati di regenerasi, sudah cukup hampir 10 tahun Naya
berkarir di kantor ini. “Aku tidak akan melupakan perusahaan yang telah
mempercayakan Aku bekerja disini, sangat bangga bekerja sama dengan tim yang
hebat dan memulai karir dari bawah di perusahaan ini. Tapi Aku akan mulai
melangkah menapaki impian lain dalam hidupku”, singkat penjelasan Naya kepada
teman – teman kerjanya.
“Anak –
anaaaak.. mulai besok Kita habiskan liburan di rumah eyang”, seru Naya.
“Asiiiiik Buuund, Aku mau main – main di sawah sama eyang kakung”, jawab anak
sulungnya. “Kalo Aku tidak sabar mau outbond sama eyang Bund”, anak yang bungsu
menyahuti. Keesokan paginya Mereka sekeluarga berangkat ke Solo.
Sampai
di Solo, kedua orang tua Naya menyambut dengan penuh suka cita, bagaimana
tidak, sudah tak terbendung lagi rasa rindu kepada anak dan cucunya. “Berapa
lama disini nak”, tanya Ayah Naya kepada Naya. “Sampai liburan selesai Pak”,
jawab Naya. “Loh kamu cuti panjang ya nak”, tanya Ibunya. Naya pun menjelaskan
tentang pengunduran diri dan usaha yang akan Dia bangun. Ayah dan Ibunya
menanggapi dengan senang. “Syukurlah nak, Bapak dan Ibu hanya dapat memberi
restu semoga niat Kamu dan suami dapat berjalan lancar”, jawab Ayah.
Sore
itu, di teras rumah di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, terdengar suara
tawa dan riuh suara anak – anak. “Ayooo yang mau kopiii panaaas kopiii
panaaaas”, Ibunya Naya berteriak menawarkan kopi kepada anggota keluarganya.
Mereka semua pun tertawa melihat tingkah wanita yang sudah semakin sepuh.
Ayahnya Naya meyeruput kopi pertamanya sore itu, “senjanya bagus ya Nay”, tanya
Ayah kepada Naya. “Iya Pak, Alhamdulillah”, jawab Naya. Sekilas terbayang wajah
dan tingkah laku Naya sewaktu kecil dipikiran lelaki sepuh itu, namun rasa
rindu itu terobati dengan kehadiran Naya dan keluarga kecilnya.
Senja
itu, langit jingga itu, rumah sederhana itu, secangkir kopi itu, wajah dan
suara Bapak, Ibu, suami dan anak – anaknya, “Alhamdulillah Tuhan, terima kasih
atas segalanya. Semoga kami selalu dalam perlindunganMu dan diberi kesehatan”,
doa Naya dalam hati. “Dan terima kasih, senja. Kau ajarkan Aku banyak hal”,
ucapnya lagi dalam hati.
Semoga
Manfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar