Minggu, 05 Mei 2013

Rahasiaku





Jauh dia melangkah tak terasa melayang menerpa
Kini kian dekat segala yang pernah ku damba
Lalu dari mana datangnya rindu
Syarat dengan beban walau dapat tertanggulangi
Tetapi terkadang ingin semua dapat kulupakan
Entah darimana datangnya rindu
Membuat kuingin berlari..
Biarkan aku kembali
Bermain berlari berputar menari
Biarkan aku kembali
Dimana ku slalu.. terlindungi..
Dapat ku melihat kehidupan didepan mataku
Slalu ku syukuri segalanya kini kunikmati
Lalu bagaimana datangnya rindu
Membuat ku ingin berlari..
Biarkan aku kembali
Bermain berlari berputar menari
Biarkan aku kembali
Dimana ku slalu.. terlindungi..
Biarkan aku kembali
Bermain berlari berputar menari
Biarkan aku kembali
Berkhayal melayang terbang jauh tinggi
Biarkan aku kembali
Dimana ku slalu.. terlindungi..


Sayup - sayup terdengar suara lembut Indra Lesmana dari siaran radio favoritku.  Tanpa kusadari nyanyian itu ikut melambungkan pikiranku, melayangkan imajinasiku entah kemana.. seperti membawa kembali diriku ke masa lalu, semacam dejavu. Mengingatkan akan orang – orang yang aku sayangi dimasa lampau yang telah satu persatu pergi. Ibuku, Ah mamaa.. cepat sekali dirimu pergi. Masih SMP kira - kira aku waktu itu, dan tak terasa sudah 15 tahun berlalu.
.
“Kak Nandaaaa...”, terdengar teriakan Asha dari luar kamarku. Asha itu adik perempuanku satu - satunya. “Yaaaa..”, jawabku. “Kenapaaaa..”, tanyaku lagi sambil berjalan membuka pintu kamar. “Ada yang nyariin tuuu, cowo, katanya teman lama”, ucap adikku. “Cowo? teman lama?”, ujarku dalam hati. Aku pun turun dari lantai 2 kamarku menuju teras rumah. 

Kaget sekali aku melihatnya, langkah kaki seperti tiba - tiba kaku melihat siapa yang ada diteras rumahku sekarang, bibirku seperti terkunci, suasana seperti dilanda dingin tiba – tiba, kakiku seperti kram tak dapat melangkah lagi, mataku mungkin tak berkedip, hanya berdiri dan terdiam beberapa saat. “Teeee sateeeee.. sateeeee”, teriak mamang sate yang lewat depan rumahku. Aku sontak seperti tersadarkan. “Hai..”, ucap suara didepanku. Aku masih terdiam. Sapaan dan senyum itu... rasanya lama sekali tak melihat dan mendengar suara itu. “Apa kabar Nda?”, tanyanya. “Baik”, jawabku singkat. 

Dia Aldo, sahabatku sekaligus pacar yang sudah hampir 5 tahun tidak pernah kutemui lagi. Awalnya kita sahabatan, sampai akhirnya kita memutuskan untuk berpacaran. Pacaran kita baik – baik saja, karena mungkin kita sahabatan dan sudah cukup kenal karakter masing – masing. Aldo punya hobi jalan – jalan, backpacker dan naik gunung. Dia slalu membawa cerita yang berbeda setelah pulang dari hobinya itu. Kadang dia mengambil cuti panjang untuk mewujudkan hobinya. Dia juga aktif menjadi volunteer pengajar diberbagai kesempatan. Aku, lebih senang dengan hobi memasakku. Ya, waktu itu aku masih berkuliah di akademi perhotelan di Jakarta, sedangkan Aldo sudah bekerja sebagai seorang staff akunting disalah satu bank swasta terbesar di Indonesia. 

Sampai suatu hari Aldo mengajakku makan malam di resto yang cukup mewah di Jakarta, cukup romantis dan suprise sekali, karena Aldo tidak pernah memperlakukan aku seperti ini sebelumnya. Masih ingat jelas hari itu karena menjadi salah satu hari bahagia buatku. Candle light, musik jazz, hari itu serasa milik kita berdua. Perfect. Sewaktu mengantarku pulang, Aldo berkata kalau dia sangat menyayangi aku, tak terkira bagaimana senangnya hatiku mendengarnya. Sambil menggenggam tanganku dia pun berkata.. “Nda, aku pamit ya?”, ucapnya. Aku pikir pamit pulang karena habis mengantarkanku. Aku pun mengangguk pelan. “Maksudku aku pamit mau pergi dalam waktu yang cukup lama”, lanjutnya lagi. “Mau kemana?”, jawabku dengan keheranan. “Aku akan keluar kota, ke pedalaman tepatnya”, lanjutnya. “Maksudnya pedalaman bagaimana Do?”, tanyaku dengan masih sangat keheranan.

Aldo pun bercerita bahwa salah satu cita - citanya adalah perpetualang melihat isi dunia. Kali ini dia dan beberapa teman – temannya akan ke pedalaman, tepatnya ke pulau Halmahera untuk mengajar disana. Aldo keterima disalah satu yayasan yang mengirimkan tenaga kerja pengajar ke pedalaman. Dia dikontrak selama satu tahun. Dan kemungkinan akan susah untuk berkomunikasi.  Aldo pun bercerita panjang lebar mengenai hobi mengajar dan bertualangnya. Baginya ini kesempatan yang selalu ia tunggu. Aku pun terdiam, tidak dapat berkata apa – apa. “Aku berangkat besok pagi ya”, lanjutnya lagi. Bagai petir disiang bolong aku mendengarnya.

Malam itu aku tidak dapat tidur, bagaimana dia bisa berpamitan sebegitu mendadaknya. “Jahat sekali kamu Do, tidak memikirkan perasaanku??”, ucapku dalam hati. Lama sekali malam itu aku bertengkar dengan diriku sendiri. Pada akhir perdebatan dengan diriku sendiri, akhirnya sisi baikku berusaha untuk menerima dan menghargai keputusan Aldo. Aku pun mengirimkan pesan singkat kepadanya.. “Aldo, aku sangat menghargai keputusanmu. Aku akan baik – baik saja disini. Kalau ada kesempatan untuk berkomunikasi, tolong hubungi aku ya, paling tidak aku mengetahui kabar kamu disana. Aku pasti akan sangat rindu kamu, setahun cukup lama buatku. Jaga kesehatan ya, jaga diri baik – baik, aku akan slalu bantu doa untuk kamu. Hati – hati ya Do”, begitu kira – kira isi smsku.

Karena tidur larut aku pun bangun kesiangan. Cek sms tak ada sms masuk, mencoba telepon Aldo tapi tak bisa. “Oo mungkin sedang diperjalanan”, ucapku dalam hati. Seharian aku tak mau jauh dari hp, takut kalau Aldo menghubungiku. Seharian tidak ada kabar darinya. “Ooo mungkin besok karena ke pedalaman paling tidak butuh waktu seharian”, hiburku dalam hati. Sehari, dua hari dan.. satu minggu aku tak dapat kabar darinya. Aku panik! Aku coba menghubungi mamahnya, dan mamahnya berkata bahwa Aldo kemarin sore menghubunginya dan menyampaikan kalau dia baik – baik saja. Dia kelihatannya senang dengan pekerjaannya disana. “Bagaimana bisa Aldo tidak menghubungiku!!”, batinku. Satu minggu lewat tak terasa sebulan sudah aku tidak pernah dihubunginya. Aku pun tidak dapat menghubungi nomornya karena tidak pernah aktif. Aku coba hubungi mamahnya, pasti mamahnya slalu ditelepon seminggu sekali sedangkan aku tidak sama sekali. “Apa2an ini!”, batinku kesal sekaligus sedih. Aku mencoba bertemu dengan mamahnya Aldo, dan menitipkan pesan “Mah, tolong sampaikan salam ke Aldo ya, tolong sampaikan jaga diri dan kesehatannya”, pintaku. “Ibunya pun tersenyum memandangku, “Aldo memang berjiwa petualang, kamu kan tau itu, hobi dari naik gunung sampai backpacker memang sudah sering dia lakukan. Sudah biarkan saja dia melakukan apa yang dia senangi. Kamu juga ya, kerjakan apa yang kamu sukai, jangan terpaku Aldo dan akan merusak masa depanmu. Tenang saja Nda, jodoh tidak kemana. Mungkin Aldo ingin menikmati hari – harinya disana. Nanda fokus sama masa depan Nanda juga ya, kalau nanti bertemu yang lebih baik dari Aldo, tidak apa Nda, jangan nunggu Aldo, kamu bisa jadi perawan tua”, ucap panjang lebar mamahnya Aldo sambil mencandai aku. “Bukan gitu mah, Aldo paling tidak memberitahukan kabarnya kepadaku walau hanya satu minggu sekali”, jawabku dengan sedih. “Mamah tidak tahu apakah Aldo benar memang akan pulang dalam waktu setahun ini, ataukah dapat lebih..”, lanjut mamahnya. Suasana tiba - tiba dingin, badanku seperti membeku, dingin, tidak tahu harus bicara apa lagi.

Setahun, dua tahun bahkan hampir lima tahun Aldo benar – benar hilang seperti ditelan bumi. Atau mungkin sudah ditelan bumi. Entahlah. Mamahnya Aldo juga seperti meyakinkan aku bahwa Aldo baik – baik saja, tapi tidak pernah ada salam buatku katanya. Aldo hanya diam jika mamahnya mulai membicarakanku. “Ah Aldo.. aku salah apa..”, ucapku lirih.

Dan tiba - tiba hari ini, malam ini, wajah itu, senyum itu, suara itu.. kembali  didepanku. Antara mimpi atau bukan atau mungkin aku melihat hantu?? Ada sepersekian menit  kita tidak berbicara, sampai akhirnya dia berkata Haii..

Aku pun mempersilahkan duduk dan mencoba memulai obrolan. “Bagaimana kabarmu?”, tanyaku. “Baik Nda, kamu sendiri gimana?”, tanyanya. “Baik”, jawabku singkat. Lalu kami terdiam beberapa saat. Aku pun memulai bertanya lagi, “Kapan datang Do?”. “Kemarin malam Nda”, jawabnya. “Kamu tidak berubah ya”, ucapnya tiba – tiba. Aku tak tahu harus jawab apa, ingin marah tapi tak bisa, ingin menangis juga sepertinya air mataku sudah kering untuknya. 

“Maaamaaaaaa..”, teriak suara anak kecil dari dalam rumah. Langkah kecilnya pun menghampiriku, aku menyambutnya dengan tanganku dan memangkunya. Kami terdiam lagi, yang terdengar hanya ocehan dari bocah yang baru mulai belajar berbicara.

“Anak kamu lucu sekali Nda”, tiba – tiba tanyanya. Aku tak sanggup menjawabnya. Diam bahkan hampir sama mendekati bisu. “Aku senang kamu sudah bahagia dengan keluarga kecilmu Nda”, ucapnya lagi. Tak terasa ada air mata yang sudah kering untuknya, mengalir melewati pipiku. Aku menangis.

“Maap ya Nda, selama ini aku menghilang. Ada banyak hal yang ingin aku lihat diluar sana. Jiwaku sepertinya memang selalu ingin berpergian ke tempat yang jauh. Sudah banyak pulau, desa dan pedalaman yang aku singgahi, tapi sepertinya aku belum selalu merasa puas. Tak terasa ternyata sudah 5 tahun. Aku kembali. Semua berubah. Mamah bertambah tua, dan kamu sudah punya keluarga sendiri. Hanya wajahmu yang tidak berubah, tetap cantik”, ujarnya panjang lebar. Aku hanya bisa menangis sambil memeluk bocak kecilku. 

“Aku merasa bahwa angin selalu ingin membawaku berpergian. Entalah mungkin ada yang salah denganku sepertinya. Mungkin hari ini atau besok atau bisa kapan saja, aku akan pergi lagi. Mamah dan keluargaku seperti pasrah dengan semua keinginan berpergianku. Tidak ada yang dapat menghalangiku Nda. Tidak ada. Aku punya keluarga diluar sana, disetiap tempat yang ku singgahi dan ku torehkan ilmu mengajarku disana. Dan aku selalu ingin berpergian ketempat yang baru dan menuliskan jejakku disana”, tuturnya panjang lebar lagi.

“Aku menyadari jika aku memutuskan untuk menikah dengan siapa pun itu, itu sama saja mengubur apa yang ingin aku kerjakan. Aku harus memilih Nda, dan pilihanku adalah tidak terikat. Aku tidak kuasa berkata ini padamu dihari itu. Aku mencoba melepasmu walau sebenarnya tidak ingin. Ada beberapa hal yang mungkin kamu tak mengerti Nda, maaf Nda, maaf sekali”, ujarnya.

Aku diam. Mencoba menenangkan diri. Setelah agak tenang, aku pun berkata, “Lakukan apa yang kamu suka Do, buat ku kamu tak lebih dari sebuah kenangan”, jawabku pendek. Terdengar kecil isak tangis dari lelaki disebelahku yang wajah dan suaranya tidak berubah, dan senyum itu.. 

“Maaf, maafin aku”, pintanya. Diam. Suasana diam lagi.

“Mau sampai kapan kamu terus terbawa angin Do?”, tanyaku. “Tidak tahu Nda, mungin suatu hari atau mungkin tidak berhenti”, jawabnya.

“Kamu jaga diri baik – baik ya Nda, aku yakin kamu dapat menjadi bunda yang terbaik untuk keluargamu. Doaku slalu ada namamu Nda”, ucapnya. Tersentak aku mendengarnya.

Aldo pun berpamitan. “Aku lega kamu sudah berkeluarga Nda”, ucapnya sebelum dia pamit.

Aku tak kuasa, tidak tahu harus menjawab apa.

Aldo berpamitan pulang, dan mungkin tidak tahu akan kembali lagi atau tidak untuk bertemuku. Aku menatap kepergiannya dengan seribu diam. 

“Aldo, mungkin kamu akan selalu berpergian terbawa angin, jiwamu seperti haus akan pencarian jati diri. Kamu mencarinya diluar sana. Padahal kebahagiaan itu ada didekatmu. Ada di orang - orang yang kamu sayangi dan menyayangi kamu juga. Tapi entah angin apa yang slalu membawamu untuk terus berpindah. Apa kau tidak mau membangun sebuah keluarga kecil dimasa depan. Dan membangun rumah kecil untuk tempatmu kembali dan pulang. Ah tapi kamu bukan terbawa oleh angin, tapi kamulah angin itu Do”, aku berucap dalam hati, menangis sambil memeluk bocah laki – laki kecil yang lucu dan sehat. 

“Kenangan bersamamu akan slalu kusimpan baik – baik. Akan kujaga anak ini baik – baik Do. Kamu mungkin tidak menyadari bahwa anak yang aku peluk ini sangat mirip denganmu. Yaaa.. ini anakmu do. Suamiku mungkin tidak menyadari, bahwa dalam diriku sudah mengalir terlebih  dahulu darah dagingmu. Kututup rapat – rapat rahasia ini. Kusimpan baik – baik, ku kunci dan kuncinya aku buang jauh – jauh didasar samudra hatiku, agar tidak dapat terbuka dengan apapun. Hanya aku yang tahu akan hal ini. Biarlah kamu pergi jauh entah kemana dan dengan siapa. Tapi titipan ini, akan menjadi kenangan nyata antara kamu dan aku”, lirihku.

Angin malam berhembus pelan meniup rambut dan seluruh badanku. Tiba – tiba turun air setitik demi setitik dari langit yang telah menghitam. Masih ada bintang diatas sana. Cantik sekali. Tiba – tiba suara telepon berbunyi dari dalam rumah. Aku bergegas mengangkat telepon. “Halo.. mah, mamah masak apa hari ini? aku sebentar lagi sampai rumah ya”, ucap suara dari sebrang telepon.

-Dalamnya lautan dapat diukur, tapi dalamnya hati manusia.. hanya diri sendiri yang tahu.

Salam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar