Jauh dia melangkah tak terasa melayang menerpa
Kini kian dekat segala yang pernah ku damba
Lalu dari mana datangnya rindu
Syarat dengan beban walau dapat tertanggulangi
Tetapi terkadang ingin semua dapat kulupakan
Entah darimana datangnya rindu
Membuat kuingin berlari..
Biarkan aku kembali
Bermain berlari berputar menari
Biarkan aku kembali
Dimana ku slalu.. terlindungi..
Dapat ku melihat kehidupan didepan mataku
Slalu ku syukuri segalanya kini kunikmati
Lalu bagaimana datangnya rindu
Membuat ku ingin berlari..
Biarkan aku kembali
Bermain berlari berputar menari
Biarkan aku kembali
Dimana ku slalu.. terlindungi..
Biarkan aku kembali
Bermain berlari berputar menari
Biarkan aku kembali
Berkhayal melayang terbang jauh tinggi
Biarkan aku kembali
Dimana ku slalu.. terlindungi..
Sayup - sayup terdengar suara
lembut Indra Lesmana dari siaran radio favoritku. Tanpa kusadari nyanyian itu ikut
melambungkan pikiranku, melayangkan imajinasiku entah kemana.. seperti membawa
kembali diriku ke masa lalu, semacam dejavu. Mengingatkan akan orang – orang
yang aku sayangi dimasa lampau yang telah satu persatu pergi. Ibuku, Ah mamaa..
cepat sekali dirimu pergi. Masih SMP kira - kira aku waktu itu, dan tak terasa
sudah 15 tahun berlalu.
.
“Kak Nandaaaa...”, terdengar
teriakan Asha dari luar kamarku. Asha itu adik perempuanku satu - satunya.
“Yaaaa..”, jawabku. “Kenapaaaa..”, tanyaku lagi sambil berjalan membuka pintu
kamar. “Ada yang nyariin tuuu, cowo, katanya teman lama”, ucap adikku. “Cowo?
teman lama?”, ujarku dalam hati. Aku pun turun dari lantai 2 kamarku menuju
teras rumah.
Kaget sekali aku melihatnya,
langkah kaki seperti tiba - tiba kaku melihat siapa yang ada diteras rumahku
sekarang, bibirku seperti terkunci, suasana seperti dilanda dingin tiba – tiba,
kakiku seperti kram tak dapat melangkah lagi, mataku mungkin tak berkedip,
hanya berdiri dan terdiam beberapa saat. “Teeee sateeeee.. sateeeee”, teriak
mamang sate yang lewat depan rumahku. Aku sontak seperti tersadarkan. “Hai..”,
ucap suara didepanku. Aku masih terdiam. Sapaan dan senyum itu... rasanya lama
sekali tak melihat dan mendengar suara itu. “Apa kabar Nda?”, tanyanya. “Baik”,
jawabku singkat.
Dia Aldo, sahabatku sekaligus
pacar yang sudah hampir 5 tahun tidak pernah kutemui lagi. Awalnya kita
sahabatan, sampai akhirnya kita memutuskan untuk berpacaran. Pacaran kita baik
– baik saja, karena mungkin kita sahabatan dan sudah cukup kenal karakter
masing – masing. Aldo punya hobi jalan – jalan, backpacker dan naik gunung. Dia
slalu membawa cerita yang berbeda setelah pulang dari hobinya itu. Kadang dia
mengambil cuti panjang untuk mewujudkan hobinya. Dia juga aktif menjadi
volunteer pengajar diberbagai kesempatan. Aku, lebih senang dengan hobi
memasakku. Ya, waktu itu aku masih berkuliah di akademi perhotelan di Jakarta,
sedangkan Aldo sudah bekerja sebagai seorang staff akunting disalah satu bank
swasta terbesar di Indonesia.
Sampai suatu hari Aldo mengajakku
makan malam di resto yang cukup mewah di Jakarta, cukup romantis dan suprise
sekali, karena Aldo tidak pernah memperlakukan aku seperti ini sebelumnya.
Masih ingat jelas hari itu karena menjadi salah satu hari bahagia buatku.
Candle light, musik jazz, hari itu serasa milik kita berdua. Perfect. Sewaktu
mengantarku pulang, Aldo berkata kalau dia sangat menyayangi aku, tak terkira
bagaimana senangnya hatiku mendengarnya. Sambil menggenggam tanganku dia pun
berkata.. “Nda, aku pamit ya?”, ucapnya. Aku pikir pamit pulang karena habis
mengantarkanku. Aku pun mengangguk pelan. “Maksudku aku pamit mau pergi dalam
waktu yang cukup lama”, lanjutnya lagi. “Mau kemana?”, jawabku dengan
keheranan. “Aku akan keluar kota, ke pedalaman tepatnya”, lanjutnya. “Maksudnya
pedalaman bagaimana Do?”, tanyaku dengan masih sangat keheranan.
Aldo pun bercerita bahwa salah
satu cita - citanya adalah perpetualang melihat isi dunia. Kali ini dia dan
beberapa teman – temannya akan ke pedalaman, tepatnya ke pulau Halmahera untuk
mengajar disana. Aldo keterima disalah satu yayasan yang mengirimkan tenaga
kerja pengajar ke pedalaman. Dia dikontrak selama satu tahun. Dan kemungkinan
akan susah untuk berkomunikasi. Aldo
pun bercerita panjang lebar mengenai hobi mengajar dan bertualangnya. Baginya
ini kesempatan yang selalu ia tunggu. Aku pun terdiam, tidak dapat berkata apa
– apa. “Aku berangkat besok pagi ya”, lanjutnya lagi. Bagai petir disiang
bolong aku mendengarnya.
Malam itu aku tidak dapat tidur,
bagaimana dia bisa berpamitan sebegitu mendadaknya. “Jahat sekali kamu Do,
tidak memikirkan perasaanku??”, ucapku dalam hati. Lama sekali malam itu aku
bertengkar dengan diriku sendiri. Pada akhir perdebatan dengan diriku sendiri,
akhirnya sisi baikku berusaha untuk menerima dan menghargai keputusan Aldo. Aku
pun mengirimkan pesan singkat kepadanya.. “Aldo, aku sangat menghargai
keputusanmu. Aku akan baik – baik saja disini. Kalau ada kesempatan untuk
berkomunikasi, tolong hubungi aku ya, paling tidak aku mengetahui kabar kamu
disana. Aku pasti akan sangat rindu kamu, setahun cukup lama buatku. Jaga kesehatan
ya, jaga diri baik – baik, aku akan slalu bantu doa untuk kamu. Hati – hati ya
Do”, begitu kira – kira isi smsku.
Karena tidur larut aku pun bangun
kesiangan. Cek sms tak ada sms masuk, mencoba telepon Aldo tapi tak bisa. “Oo
mungkin sedang diperjalanan”, ucapku dalam hati. Seharian aku tak mau jauh dari
hp, takut kalau Aldo menghubungiku. Seharian tidak ada kabar darinya. “Ooo
mungkin besok karena ke pedalaman paling tidak butuh waktu seharian”, hiburku
dalam hati. Sehari, dua hari dan.. satu minggu aku tak dapat kabar darinya. Aku
panik! Aku coba menghubungi mamahnya, dan mamahnya berkata bahwa Aldo kemarin
sore menghubunginya dan menyampaikan kalau dia baik – baik saja. Dia
kelihatannya senang dengan pekerjaannya disana. “Bagaimana bisa Aldo tidak
menghubungiku!!”, batinku. Satu minggu lewat tak terasa sebulan sudah aku tidak
pernah dihubunginya. Aku pun tidak dapat menghubungi nomornya karena tidak
pernah aktif. Aku coba hubungi mamahnya, pasti mamahnya slalu ditelepon
seminggu sekali sedangkan aku tidak sama sekali. “Apa2an ini!”, batinku kesal
sekaligus sedih. Aku mencoba bertemu dengan mamahnya Aldo, dan menitipkan pesan
“Mah, tolong sampaikan salam ke Aldo ya, tolong sampaikan jaga diri dan
kesehatannya”, pintaku. “Ibunya pun tersenyum memandangku, “Aldo memang berjiwa
petualang, kamu kan tau itu, hobi dari naik gunung sampai backpacker memang
sudah sering dia lakukan. Sudah biarkan saja dia melakukan apa yang dia
senangi. Kamu juga ya, kerjakan apa yang kamu sukai, jangan terpaku Aldo dan akan
merusak masa depanmu. Tenang saja Nda, jodoh tidak kemana. Mungkin Aldo ingin
menikmati hari – harinya disana. Nanda fokus sama masa depan Nanda juga ya,
kalau nanti bertemu yang lebih baik dari Aldo, tidak apa Nda, jangan nunggu
Aldo, kamu bisa jadi perawan tua”, ucap panjang lebar mamahnya Aldo sambil
mencandai aku. “Bukan gitu mah, Aldo paling tidak memberitahukan kabarnya
kepadaku walau hanya satu minggu sekali”, jawabku dengan sedih. “Mamah tidak
tahu apakah Aldo benar memang akan pulang dalam waktu setahun ini, ataukah
dapat lebih..”, lanjut mamahnya. Suasana tiba - tiba dingin, badanku seperti
membeku, dingin, tidak tahu harus bicara apa lagi.
Setahun, dua tahun bahkan hampir
lima tahun Aldo benar – benar hilang seperti ditelan bumi. Atau mungkin sudah
ditelan bumi. Entahlah. Mamahnya Aldo juga seperti meyakinkan aku bahwa Aldo
baik – baik saja, tapi tidak pernah ada salam buatku katanya. Aldo hanya diam
jika mamahnya mulai membicarakanku. “Ah Aldo.. aku salah apa..”, ucapku lirih.
Dan tiba - tiba hari ini, malam
ini, wajah itu, senyum itu, suara itu.. kembali didepanku. Antara mimpi atau bukan
atau mungkin aku melihat hantu?? Ada sepersekian menit kita tidak berbicara, sampai akhirnya
dia berkata Haii..
Aku pun mempersilahkan duduk dan
mencoba memulai obrolan. “Bagaimana kabarmu?”, tanyaku. “Baik Nda, kamu sendiri
gimana?”, tanyanya. “Baik”, jawabku singkat. Lalu kami terdiam beberapa saat.
Aku pun memulai bertanya lagi, “Kapan datang Do?”. “Kemarin malam Nda”,
jawabnya. “Kamu tidak berubah ya”, ucapnya tiba – tiba. Aku tak tahu harus
jawab apa, ingin marah tapi tak bisa, ingin menangis juga sepertinya air mataku
sudah kering untuknya.
“Maaamaaaaaa..”, teriak suara
anak kecil dari dalam rumah. Langkah kecilnya pun menghampiriku, aku menyambutnya
dengan tanganku dan memangkunya. Kami terdiam lagi, yang terdengar hanya ocehan
dari bocah yang baru mulai belajar berbicara.
“Anak kamu lucu sekali Nda”, tiba
– tiba tanyanya. Aku tak sanggup menjawabnya. Diam bahkan hampir sama mendekati
bisu. “Aku senang kamu sudah bahagia dengan keluarga kecilmu Nda”, ucapnya
lagi. Tak terasa ada air mata yang sudah kering untuknya, mengalir melewati
pipiku. Aku menangis.
“Maap ya Nda, selama ini aku
menghilang. Ada banyak hal yang ingin aku lihat diluar sana. Jiwaku sepertinya
memang selalu ingin berpergian ke tempat yang jauh. Sudah banyak pulau, desa
dan pedalaman yang aku singgahi, tapi sepertinya aku belum selalu merasa puas.
Tak terasa ternyata sudah 5 tahun. Aku kembali. Semua berubah. Mamah bertambah
tua, dan kamu sudah punya keluarga sendiri. Hanya wajahmu yang tidak berubah,
tetap cantik”, ujarnya panjang lebar. Aku hanya bisa menangis sambil memeluk
bocak kecilku.
“Aku merasa bahwa angin selalu
ingin membawaku berpergian. Entalah mungkin ada yang salah denganku sepertinya.
Mungkin hari ini atau besok atau bisa kapan saja, aku akan pergi lagi. Mamah
dan keluargaku seperti pasrah dengan semua keinginan berpergianku. Tidak ada
yang dapat menghalangiku Nda. Tidak ada. Aku punya keluarga diluar sana, disetiap
tempat yang ku singgahi dan ku torehkan ilmu mengajarku disana. Dan aku selalu
ingin berpergian ketempat yang baru dan menuliskan jejakku disana”, tuturnya
panjang lebar lagi.
“Aku menyadari jika aku
memutuskan untuk menikah dengan siapa pun itu, itu sama saja mengubur apa yang
ingin aku kerjakan. Aku harus memilih Nda, dan pilihanku adalah tidak terikat.
Aku tidak kuasa berkata ini padamu dihari itu. Aku mencoba melepasmu walau
sebenarnya tidak ingin. Ada beberapa hal yang mungkin kamu tak mengerti Nda,
maaf Nda, maaf sekali”, ujarnya.
Aku diam. Mencoba menenangkan
diri. Setelah agak tenang, aku pun berkata, “Lakukan apa yang kamu suka Do,
buat ku kamu tak lebih dari sebuah kenangan”, jawabku pendek. Terdengar kecil
isak tangis dari lelaki disebelahku yang wajah dan suaranya tidak berubah, dan
senyum itu..
“Maaf, maafin aku”, pintanya.
Diam. Suasana diam lagi.
“Mau sampai kapan kamu terus
terbawa angin Do?”, tanyaku. “Tidak tahu Nda, mungin suatu hari atau mungkin
tidak berhenti”, jawabnya.
“Kamu jaga diri baik – baik ya
Nda, aku yakin kamu dapat menjadi bunda yang terbaik untuk keluargamu. Doaku
slalu ada namamu Nda”, ucapnya. Tersentak aku mendengarnya.
Aldo pun berpamitan. “Aku lega
kamu sudah berkeluarga Nda”, ucapnya sebelum dia pamit.
Aku tak kuasa, tidak tahu harus
menjawab apa.
Aldo berpamitan pulang, dan
mungkin tidak tahu akan kembali lagi atau tidak untuk bertemuku. Aku menatap
kepergiannya dengan seribu diam.
“Aldo, mungkin kamu akan selalu
berpergian terbawa angin, jiwamu seperti haus akan pencarian jati diri. Kamu
mencarinya diluar sana. Padahal kebahagiaan itu ada didekatmu. Ada di orang -
orang yang kamu sayangi dan menyayangi kamu juga. Tapi entah angin apa yang
slalu membawamu untuk terus berpindah. Apa kau tidak mau membangun sebuah
keluarga kecil dimasa depan. Dan membangun rumah kecil untuk tempatmu kembali
dan pulang. Ah tapi kamu bukan terbawa oleh angin, tapi kamulah angin itu Do”,
aku berucap dalam hati, menangis sambil memeluk bocah laki – laki kecil yang
lucu dan sehat.
“Kenangan bersamamu akan slalu
kusimpan baik – baik. Akan kujaga anak ini baik – baik Do. Kamu mungkin tidak
menyadari bahwa anak yang aku peluk ini sangat mirip denganmu. Yaaa.. ini
anakmu do. Suamiku mungkin tidak menyadari, bahwa dalam diriku sudah mengalir
terlebih dahulu darah
dagingmu. Kututup rapat – rapat rahasia ini. Kusimpan baik – baik, ku kunci dan
kuncinya aku buang jauh – jauh didasar samudra hatiku, agar tidak dapat terbuka
dengan apapun. Hanya aku yang tahu akan hal ini. Biarlah kamu pergi jauh entah
kemana dan dengan siapa. Tapi titipan ini, akan menjadi kenangan nyata antara
kamu dan aku”, lirihku.
Angin malam berhembus pelan
meniup rambut dan seluruh badanku. Tiba – tiba turun air setitik demi setitik
dari langit yang telah menghitam. Masih ada bintang diatas sana. Cantik sekali.
Tiba – tiba suara telepon berbunyi dari dalam rumah. Aku bergegas mengangkat
telepon. “Halo.. mah, mamah masak apa hari ini? aku sebentar lagi sampai rumah
ya”, ucap suara dari sebrang telepon.
-Dalamnya lautan dapat diukur, tapi dalamnya hati manusia.. hanya diri sendiri yang tahu.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar