Minggu, 12 Mei 2013

Rahasiaku (Bagian – 2)



Masih ingat saat sore itu.. tidak ada senja, hanya ada hujan yang turun dengan derasnya..

Jakarta seperti diguyur hujan tiada henti. Air seperti tumpah ruah dan tak kunjung habis. Waktu itu sekitar jam 5 sore, aku sedang berada didalam bis dan sedang bermacet ria bersama para penumpang. “Arrghh macet!! Cerita lama kota ini yang terus berulang. Belum lagi hujan deras tiada henti yang akan disusul dengan banjir. Adakah solusi terbaik untuk ibukota ini??!”, tanyaku dalam hati. Tiba disuatu halte, aku memutuskan untuk turun, sebentar lagi waktu buka puasa, kebetulan sedang puasa senin kamis dan tidak membawa makanan atau minuman untuk dijadikan menu membatalkan puasa. Dihalte berikutnya pun aku memutuskan turun mencari warung yang paling tidak menjual air mineral. “kiri Bang”, ucapku.

Ada satu warung makan yang berukuran tidak terlalu besar di dekat halte tersebut. Aku pun mampir, memesan air mineral dan segelas teh manis hangat. Dugdugduuugg.. suara bedug maghrib dari salah satu stasiun tv swasta pun terdengar, menandakan waktu maghrib untuk Jakarta dan sekitarnya. “Alhamdulillah..”, ucapku dalam hati.

Sambil menunggu hujan agak reda sedikit, aku pun memesan nasi soto. Saat sedang makan sambil memandang jalanan, saat itu aku melihat seorang perempuan melintas didepanku, sambil menggunakan payung untuk melindungi dirinya dari guyuran air hujan. Kaos putih dan rok pink, dengan sepatu kets yang agak mulai kuyup, rambut sebahu, wajah lokal dan kulit sawo matang. Sederhana namun cantik sekali. Bibirnya mulai menggigil, mungkin karena tidak menggunakan baju hangat atau jaket. Tapi mata bulatnya terlihat sangat sendu memandang lurus kedepan. Raut wajahnya seperti sedang sedih dan pikirannya seperti sedang pergi entah dimana. Dia berjalan perlahan lewat didepan warung makan ini. Dan aku memandangnya, mungkin kedipan mataku juga dapat dihitung hanya beberapa kali.

Nasi sotoku pun hampir habis, diam sejenak sambil menikmati beberapa isapan rokok, ingatanku masih tertuju pada perempuan itu dan emtah mengapa rasa iba pun muncul dalam hatiku. Setelah puas dengan merokok, aku pun membayar pesananku dan bergegas menuju halte untuk melanjutkan perjalanan pulangku, karena tidak membawa payung, ya terpaksa aku hujan – hujanan tapi bersyukur karena sudah tidak terlalu deras.

Sambil setengah berlari, aku pun sampai dihalte. Dan setelah melap sedikit baju dan badanku, aku pun langsung mengambil posisi duduk yang kosong sambil menunggu bis. Melihat kearah kanan dan.. perempuan itu, ada tepat disebelahku, tetap dengan pandangan mata yang kosong dan lurus ke arah jalan yang sedang diguyur air hujan.

Beberapa saat setelah berdebat dengan diriku sendiri, aku pun akhirnya memberanikan diri untuk menegurnya. Kata pertama yang keluar dari mulutku dan agak sedikit terbata.. “Hai..”.

Perempuan itu masih tak bergeming dari lamunannya, mungkin karena suaraku juga tidak terdengar olehnya. Aku pun melanjutkan sapaan.. “Maaf mba, sedang menunggu bis ke arah mana?”. Tapi perempuan itu masih juga tidak bergeming.

Dengan sedikit menggunakan suara batuk, aku pun mengulang kembali sapaanku, “eheem uhuuk.. Maaf mba, sedang menunggu bis ke arah mana?”. Perempuan itu pun seperti terbangun dari tidur panjangnya, dengan sedikit terkejut, dia menolehkan wajahnya ke arahku, dan... aku dapat melihat dengan jelas jika wajah cantiknya tetap tidak dapat disembunyikan walaupun dengan raut sedihnya.

Dia pun menoleh dan memandangku dalam sepersekian menit, cukup lama memang, mungkin masih dalam kondisi terkejut. Suara pertamanya pun keluar dari bibirnya yang manis, “Tanya sama saya mas?”, ucapnya. “Iya”, jawabku singkat dan masih terpana memandang dalam matanya.

“Tanya apa mas tadi?”, lanjut perempuan itu. “Ooo tadi saya tanya sedang menunggu bis kearah mana?”, lanjutku mengulangnya. “Saya ke arah Tebet”, jawabnya singkat. “Wah kebetulan satu arah, cukup lama ya sepertinya bis akan datang”, jawabku basa – basi. “Iya”, jawabnya lagi singkat.

Aku memberanikan diri lagi, “Kenalkan namaku Riko”, aku memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan. Lama tidak dapat sambutan dari perempuan itu dan akhirnya.. kami bersalaman. “Aku Nanda”, jawabnya. “Ooo namanya Nanda, cantik sekali seperti wajahnya’, ucapku dalam hati.

Aku pun mulai berbasa – basi dengan pertanyaan lain yang mungkin tidak terlalu penting, seperti menanyakan apakah Tebet akan kebanjiran, lalu kira – kira besok akan hujan seperti ini lagi atau tidak, sampai apakah gubernur Jakarta yang baru dapat menyelesaikan masalah banjir dan kemacetan. Agak aneh memang pertanyaanku, tapi paling tidak aku dapat berbincang dengannya dan mendengar suaranya dan ya paling tidak sambil memandang matanya.

Nanda pun menanggapi dengan jawaban yang singkat seperti ketika aku menanyakan apakah gubernur Jakarta yang baru dapat menyelesaikan masalah banjir dan kemacetan, Nanda hanya menjawab, ”Semoga”. Dan selebihnya Nanda hanya seperti menjadi pendengar yang baik.

Aku pun akhirnya mempromosikan diri dari mulai menceritakan pekerjaan, rumahku ada dimana, dari lulusan mana sampai aku berasal dari mana. “Ah aku memang terlalu pede, tapi yang terpenting Nanda tidak melayangkan pikirannya jauh entah kemana, lebih baik dia mendengarkan aku berbicara”, ucapku dalam hati. Cukup lama kami berbincang dan akhirnya bis kami pun datang setelah ditunggu hampir setengah jam.

Kami pun beranjak dari halte dan menaiki bis tersebut. Cukup penuh dan kami pun berdiri didalam bis. Selama perjalanan, mata Nanda hanya menatap jalanan Jakarta dari jendela bis ini. Pikirannya sedang dibawa entah ke ruang mana, mungkin dia juga sudah melupakanku, lelaki yang mencoba berkenalan dengannya di halte itu. Tapi cantiknya tetap terlihat, dan aku pun masih saja berharap untuk mengenalnya lebih jauh.

Bis pun hampir sampai di perumahan Nanda, tapi dia seperti tidak menyadarinya. Lalu aku pun menegurnya, “Nanda, kamu ngga siap – siap, sebentar lagi kan sampai”, tanyaku. Dia seperti segera menyadari dan mulai mempersiapkan diri berjalan ke arah pintu. “Aku duluan ya”, pintanya. “Ya hati – hati“, jawabku. Dia pun segera memberhentikan bis, berjalan turun, berjalan menuju perumahannya dan perlahan menjauh dari pandanganku. Ingin sekali mengantarkannya pulang sampai depan rumahnya, tapi aku terlalu malu untuk itu.

Dan benar saja setelah sampai dirumah, aku masih saja memikirkannya. Seperti ada banyak hal yang ingin ku ketahui dari dirinya. Ingin sekali membantunya, dan ingin sekali melihatnya tertawa.

Seminggu lewat setelah pertemuan itu, aku masih tak sanggup melupakannya. Maka, Sabtu pagi ini, aku menjanjikan diriku untuk bertemu dengannya lagi. “Bisa, pasti bisa!!”, ucapku menyemangati diri sendiri.

Sore itu sekitar jam 4, aku pun membawa sepeda dan mulai menuju perumahan tempat Nanda tinggal. Aku putar – putar dengan sepeda kesayanganku, sudah beberapa kali putaran dan masih tidak melihat ada penampakan Nanda. Aku memang hobi sekali bermain sepeda, dari rumahku ke rumah Nanda hanya kira – kira satu jam dengan menggunakan sepeda. Hampir putus asa dan takut dibilang maling oleh warga karena aku sudah mondar – mandir disini beberapa kali, aku pun memutuskan untuk menunggunya didepan portal perumahannya. Dan kebetulan ada penjual mie ayam disana, aku pun makan mie ayam sambil masih berharap Nanda akan lewat didepanku.

Hampir habis tapi dia tak kunjung lewat, “Yah sudahlah memang belum waktunya ketemu”, batinku. Aku pun membayar mie ayamku. Sambil membayar, aku pun menanyakan ke bapak penjual apakah mengenal Nanda yang tinggal di perumahan disebrang warungnya ini. Bapaknya agak heran dan berusaha mengingat – ingat, tapi sungguh diluar dugaan dia mengenalnya, “Ah harapan memang selalu ada”, ucapku dalam hati dengan senang.

Beliau menjawab jika ada yang namanya Nanda dan sering beli mie ayamnya juga. Beliau berkata sambil menceritakan ciri – ciri dari Nanda yang dia maksud, dan ya sama persis dengan Nanda yang aku cari. Beliau bercerita bahwa nak Nanda sering beli di warungnya, tapi sudah hampir sebulan ini tidak kelihatan dan biasanya dia kesini bersama teman laki – lakinya. Tapi sayangnya bapak penjual mie ayam tidak mengetahui rumahnya. Aku pun berpamitan dan bergegas pulang. Sebelum pulang aku pun memutari perumahan ini sekali lagi. Dan tanpa disangka, aku melihat dirinya di rumah berpagar hijau itu.

Dia sedang menyirami tanamannya yang berada di teras rumahnya, aku melihat dari kejauhan. Setelah diskusi dengan diriku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk menghampirinya. Dan benar saja, dia kaget sekali melihatku yang datang menghampiri dan menyapanya.

Aku pun berbasa – basi lagi bahwa aku sedang melakukan aktivitas bersepeda yang kebetulan lewat perumahan ini dan tanpa sengaja melihatnya dari jauh. Nanda seperti menerima penjelasanku. Dia mempersilahkan aku untuk mampir, tak kuasa aku menolaknya, dan ini kesempatanku untuk berkenalan lebih jauh dengannya.

Aku pun dikenalkan dengan adik perempuannya yang bernama Asha, kami pun berbincang dan pembicaraan diantara kami pun terlihat lebih santai dan akrab. Sudah hampir maghrib, aku pun berpamitan pulang. Lalu sebelum pulang, aku pun meminta nomor teleponnya. Dia pun memberikannya tanpa ragu.

Aku jadi semakin sering bawa motor, bahkan setiap hari aku selalu menunggunya pulang bekerja, kebetulan Nanda sedang magang disalah satu toko kue cukup terkenal di Jakarta. Awalnya dia menolak untuk menerima ajakanku untuk mengantarnya pulang, tapi pada akhirnya aku dapat meyakinkan dirinya. Karena Jakarta sedang sering diguyur hujan, maka kami pun sering meneduh dihalte atau tempat makan. Disaat itulah kesempatanku untuk mengenalnya lebih jauh. Sedikit demi sedikit aku mulai mengenal dirinya. Nanda, perempuan baik – baik yang sedang terjebak dengan masa lalunya. Sebulan sudah laki – laki yang amat dikasihinya jauh pergi tanpa kabar.

Suatu hari adiknya, meneleponku dan ingin bertemu denganku, ada yang ingin diceritakan katanya. Sore itu kami pun bertemu, Asha pun becerita denganku tentang kondisi kakaknya, Asha bercerita tentang apa yang menyebabkan diri kakaknya berubah. Dan mempertegas jika hanya ingin main – main, lebih baik jangan dekati Nanda, begitu kira – kira pinta Asha.

Memang ada sedikit keanehan dari fisik Nanda, pernah suatu kali saat kita sedang makan bersama, tiba – tiba dia mual tanpa sebab yang jelas. Tapi semakin aku mengenalnya, entah mengapa aku merasa iba kepadanya, dan merasa bahwa aku harus menemani melewati cobaannya. Entah kenapa aku ingin sekali selalu berada disampingnya, tidak peduli apa kondisinya sekarang.

Aku baru 2 tahun tinggal di Jakarta, ayah dan ibuku sudah tidak ada sejak lama, mereka meninggal dalam suatu kecelakaan saat aku masih kecil. Aku anak semata wayang yang kemudian dirawat oleh nenekku di Surabaya. Hanya nenek yang membesarkanku sampai aku berhasil seperti sekarang. Aku sedang menyicil rumah, tapi nenek masih di Surabaya karena beliau tidak ingin pindah dari rumahnya. Aku terpaksa merantau ke Jakarta karena kesempatanku berkarir ada disini. Setiap hari aku selalu menelepon nenek, dan biasanya sekitar 2 bulan sekali aku rajin pulang ke Surabaya. Sayangku kepada nenek sungguh tak terkira, sudah beberapa kali nenek mendesakku untuk mencari pendamping hidup. Selain untuk teman hidupku, nenek juga ingin sekali menggendong cucu, karena umurnya yang semakin tua dan beliau sangat takut jika tak dapat melihat cucunya lahir. Dan setiap nenek membicarakan pernikahan, aku pasti selalu mengalihkannya dengan hal lain.

Kali ini, aku merasakan perasaan berbeda saat bersama Nanda, ada perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Yang pasti, aku ingin terus ada disampingnya. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta. Jatuh cinta kepada seorang perempuan yang lewat didepanku saat hujan disore itu. Seorang perempuan dengan wajah cantik namun sederhana, seorang perempuan yang sedang dilanda masalah dan hanya dia yang tahu akan hal ini. Nanda tak pernah bercerita sedikit pun tentang masa lalunya, aku hanya mengetahui dari adiknya. Dan seorang perempuan yang mungkin tengah berbadan dua!

2 bulan sudah aku mengenalnya. Setelah perdebatan yang panjang dengan diriku sendiri, entah mengapa suara ini yang menang. Dengan mendapat restu dari nenek, dan nenek mempercayai apapun pilihanku, akhirnya di malam itu aku memberanikan diri kerumahnya. Dengan berpakaian sangat rapih dan walau hanya seorang diri karena tidak punya saudara di Jakarta, aku melamar Nanda di hari itu. Nanda terlihat sangat terkejut, Asha juga menunjukkan raut wajah yang sama. Aku melamarnya dan bermaksud mengajaknya ke hubungan yang lebih serius. Aku mengeluarkan cincin dan memberikannya kepada Nanda. Nanda hanya memandangku, dan air matanya keluar dari matanya yang bulat.. dan dia masih terlihat cantik. Aku pun memakaikan cincin dijari manisnya, semanis senyumnya.

Keesokan hari, aku bertemu dengan ayahnya Nanda yang tinggal berbeda rumah dengan Nanda karena kebetulan ayahnya tinggal bersama istri barunya. Ibu Nanda sudah lama meninggal, Ayahnya memberi kami restu dan menyetujui kapan pun waktunya kami merencanakan pernikahan itu.

Sore itu.. Diteras rumahnya, Nanda tiba – tiba menangis.. dia minta aku peluk, aku pun memeluknya. “Terima kasih ya”, singkat ucapannya. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa sanggup berbicara.

Aku membawa Nanda ke Surabaya dan memperkenalkan dengan nenekku. Nenek senang sekali saat bertemu Nanda. Kami pun merencanakan pernikahan sederhana yang aka dilaksanakan 2 minggu lagi. Aku tahu memang ini terlalu cepat, tapi aku tahu bahwa Nanda tidak dapat menunggu. Walau dia tidak pernah bercerita, tapi aku tahu akan hal itu.

Saat pernikahan itu pun tiba, pernikahan sederhana, hanya dihadiri oleh kerabat dekat, tetangga dan teman – teman dekat. Pernikahan berlangsung khidmah. Kami pun resmi menjadi suami istri. Setelah resmi, Nanda ikut tinggal bersamaku, tapi terkadang masih tinggal dirumahnya karena memang rumah kami tidak terlalu jauh.

Dan.. anak tidak berdosa itu pun lahir.. aku dan Nanda sudah menjadi orang tua, dan rasa sayangku tidak kurang untuk keduanya. Aku harus bertanggung jawab dengan semua pilihanku. Dan aku menerima semua itu apa adanya.

Sejak bersamaku, Nanda sedikit demi sedikit kembali ceria. Aku masih ingat bagaimana awal kita bertemu, bagaimana pertama kalinya dia tersenyum dan yang paling aku ingat adalah bagaimana dia tertawa untuk pertama kalinya. “Ah Nanda, entah aku kesambet angin apa, tapi rasa ini coba aku ikuti. Aku yakin rasa ini tidak salah. Aku sudah mengalami perdebatan yang panjang dengan diriku sendiri sejak bertemumu. Semoga kamu dapat menjadi istri dan ibu yang baik bagi kami. Itu saja sudah cukup. Biarlah rahasiamu tetap menjadi milikmu Nand”, batinku.

Di ruang kantorku, terpajang poto kami bertiga, lucu sekali. Aku cukup lama memandang poto itu sambil mengingat saat pertama kali bertemunya.

Aku angkat telepon di meja kantorku, aku putar nomor telepon rumahnya karena Nanda sedang berada disana untuk bertemu adiknya. “Halo..” suara dari sebrang sana. “Halo.. mah, mamah masak apa hari ini? aku sebentar lagi sampai rumah ya”, ucapku.

-Rasa itu hanya ada satu, karena rasa adalah kebaikan, maka ikutilah terus rasa itu, ketika rasa dinodai, maka itu adalah keburukan.

Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar