Rabu, 15 Mei 2013

Plan ABC



Menurut ilmu pengetahuan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang lahir dilengkapi dengan akal budi dan hati nurani. Karnanya itu manusia adalah makhluk yang sempurna. Lalu apa hakikatnya hidup bagi setiap manusia?

Sampai sekarang, itu adalah pertanyaan besar dalam hidup gw, dan masih belum bisa menemukan jawabannya yang "menurut gw sendiri". Pertanyaan – pertanyaan tentang “hidup” terus bermunculan satu persatu. Dunia itu luas bro, apa gw harus melangkah dari sabang sampai merauke, atau dari kutub utara ke selatan untuk menemukan jawabannya? *lebay*

Berdebat dengan diri sendiri dan pada akhirnya meminta kepada NYA dalam doa.

Ada beberapa tempat yang pernah gw singgahi untuk menenangkan diri sejenak dan berharap semoga menemukan jawaban itu.. Dan entah mengapa keinginan untuk mengajar itu terasa kuat.

Ketika setiap manusia memiliki beberapa rencana dalam hidupnya, gw pun sekarang mulai menata rencana-rencana itu kembali dan menulisnya ulang.. Beginilah kira – kira plannya, paling tidak untuk setahun ini:

Plan A: Keluar dari pekerjaan yang sudah bertahun – tahun gw lalui. Tidak balik lagi sebagai IT. Mencoba pekerjaan dalam bidang mengajar, apapun itu walau hanya bekerja di tempat kursus

Plan B: Apply CV ke sekolahan!!

Plan C: Jika tidak punya cukup penghasilan dari mengajar, tidak apa toh sudah mencoba mengikuti passion itu sendiri. Mengurangi jajan dan hal yang tidak penting seperti makan diluar

Plan D: Jika mengajar masih tidak mencukupi hidup, gadaikan benda yang bisa gw gadaikan. *Edisi sekarat banget ngga punya duit*

Plan E: Jika memang benar – benar tidak bisa hidup dari mengajar, coba cari sampingan seperti freelance dll

Plan F: Jika sudah diambang batas, yuk mari back to basic. Atau kerjakan kerjaan apapun itu bentuknya. Jika memungkinkan balik lagi ke IT

Plan G: Jika tidak bisa hidup dari mengajar, sebaiknya cepat merit biar ada yang menghidupi dan masih tetap bisa mengajar

Plan H: Jika tidak cocok sebagai pengajar, sebaiknya mundur saja. Temukan pekerjaan lain atau balik lagi ke IT

Plan I: Jika memungkinkan buat usaha sendirilah. Laundry service sepertinya oke tuh

Plan J: Kembali lagi sebagai IT dan autis lagi dengan dunia itu

Plan K: Merit ajalah, dan jadi ibu RT yang baik. Makanya cari pacar dong!!

Plan L: Cari kerja di luar kota, sehabis lulus kuliah

Plan M: Lulus kuliah dan cari kerja IT

Plan N: Indonesia mengajar!!

Plan O: Pergi dan tinggal di pemalang bbrp waktu, mengajar disana dan buka usaha disana

Plan P: Kalau bisa hidup dari mengajar, yuk mari lanjutkan

Plan Q: Cari kerja deket rumah aja

Plan R: Mengajar sampai paling tidak lulus kuliah

Plan S: Be a founder for a school

Plan T: Mengajar selama setahun

Plan U: Mengajar sampai tahun ajaran 2012 ini, cari kerjaan lain jika tidak memungkinkan hidup dari mengajar

Plan V: Gunakan uang TRM untuk buka usaha

Plan W: Gunakan uang TRM untuk jalan – jalan

Plan X: PNS

Plan Y: Merit ajalah ya, urusan kerjaan belakangan

Plan Z: Choose and back to plan that you already passed it hahaaa OR create the new list of plan

Sederhana saja, intinya gw mau menikmati hidup. Banyak yang bilang berakit ke hulu berenang ke tepian, tapi buat gw, nikmati saja waktumu tanpa perlu menyakiti diri sendiri.


No need to worry if plan A does not work well, There are alphabet until Z.
  
\(^,^)/

Minggu, 12 Mei 2013

Rahasiaku (Bagian – 2)



Masih ingat saat sore itu.. tidak ada senja, hanya ada hujan yang turun dengan derasnya..

Jakarta seperti diguyur hujan tiada henti. Air seperti tumpah ruah dan tak kunjung habis. Waktu itu sekitar jam 5 sore, aku sedang berada didalam bis dan sedang bermacet ria bersama para penumpang. “Arrghh macet!! Cerita lama kota ini yang terus berulang. Belum lagi hujan deras tiada henti yang akan disusul dengan banjir. Adakah solusi terbaik untuk ibukota ini??!”, tanyaku dalam hati. Tiba disuatu halte, aku memutuskan untuk turun, sebentar lagi waktu buka puasa, kebetulan sedang puasa senin kamis dan tidak membawa makanan atau minuman untuk dijadikan menu membatalkan puasa. Dihalte berikutnya pun aku memutuskan turun mencari warung yang paling tidak menjual air mineral. “kiri Bang”, ucapku.

Ada satu warung makan yang berukuran tidak terlalu besar di dekat halte tersebut. Aku pun mampir, memesan air mineral dan segelas teh manis hangat. Dugdugduuugg.. suara bedug maghrib dari salah satu stasiun tv swasta pun terdengar, menandakan waktu maghrib untuk Jakarta dan sekitarnya. “Alhamdulillah..”, ucapku dalam hati.

Sambil menunggu hujan agak reda sedikit, aku pun memesan nasi soto. Saat sedang makan sambil memandang jalanan, saat itu aku melihat seorang perempuan melintas didepanku, sambil menggunakan payung untuk melindungi dirinya dari guyuran air hujan. Kaos putih dan rok pink, dengan sepatu kets yang agak mulai kuyup, rambut sebahu, wajah lokal dan kulit sawo matang. Sederhana namun cantik sekali. Bibirnya mulai menggigil, mungkin karena tidak menggunakan baju hangat atau jaket. Tapi mata bulatnya terlihat sangat sendu memandang lurus kedepan. Raut wajahnya seperti sedang sedih dan pikirannya seperti sedang pergi entah dimana. Dia berjalan perlahan lewat didepan warung makan ini. Dan aku memandangnya, mungkin kedipan mataku juga dapat dihitung hanya beberapa kali.

Nasi sotoku pun hampir habis, diam sejenak sambil menikmati beberapa isapan rokok, ingatanku masih tertuju pada perempuan itu dan emtah mengapa rasa iba pun muncul dalam hatiku. Setelah puas dengan merokok, aku pun membayar pesananku dan bergegas menuju halte untuk melanjutkan perjalanan pulangku, karena tidak membawa payung, ya terpaksa aku hujan – hujanan tapi bersyukur karena sudah tidak terlalu deras.

Sambil setengah berlari, aku pun sampai dihalte. Dan setelah melap sedikit baju dan badanku, aku pun langsung mengambil posisi duduk yang kosong sambil menunggu bis. Melihat kearah kanan dan.. perempuan itu, ada tepat disebelahku, tetap dengan pandangan mata yang kosong dan lurus ke arah jalan yang sedang diguyur air hujan.

Beberapa saat setelah berdebat dengan diriku sendiri, aku pun akhirnya memberanikan diri untuk menegurnya. Kata pertama yang keluar dari mulutku dan agak sedikit terbata.. “Hai..”.

Perempuan itu masih tak bergeming dari lamunannya, mungkin karena suaraku juga tidak terdengar olehnya. Aku pun melanjutkan sapaan.. “Maaf mba, sedang menunggu bis ke arah mana?”. Tapi perempuan itu masih juga tidak bergeming.

Dengan sedikit menggunakan suara batuk, aku pun mengulang kembali sapaanku, “eheem uhuuk.. Maaf mba, sedang menunggu bis ke arah mana?”. Perempuan itu pun seperti terbangun dari tidur panjangnya, dengan sedikit terkejut, dia menolehkan wajahnya ke arahku, dan... aku dapat melihat dengan jelas jika wajah cantiknya tetap tidak dapat disembunyikan walaupun dengan raut sedihnya.

Dia pun menoleh dan memandangku dalam sepersekian menit, cukup lama memang, mungkin masih dalam kondisi terkejut. Suara pertamanya pun keluar dari bibirnya yang manis, “Tanya sama saya mas?”, ucapnya. “Iya”, jawabku singkat dan masih terpana memandang dalam matanya.

“Tanya apa mas tadi?”, lanjut perempuan itu. “Ooo tadi saya tanya sedang menunggu bis kearah mana?”, lanjutku mengulangnya. “Saya ke arah Tebet”, jawabnya singkat. “Wah kebetulan satu arah, cukup lama ya sepertinya bis akan datang”, jawabku basa – basi. “Iya”, jawabnya lagi singkat.

Aku memberanikan diri lagi, “Kenalkan namaku Riko”, aku memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan. Lama tidak dapat sambutan dari perempuan itu dan akhirnya.. kami bersalaman. “Aku Nanda”, jawabnya. “Ooo namanya Nanda, cantik sekali seperti wajahnya’, ucapku dalam hati.

Aku pun mulai berbasa – basi dengan pertanyaan lain yang mungkin tidak terlalu penting, seperti menanyakan apakah Tebet akan kebanjiran, lalu kira – kira besok akan hujan seperti ini lagi atau tidak, sampai apakah gubernur Jakarta yang baru dapat menyelesaikan masalah banjir dan kemacetan. Agak aneh memang pertanyaanku, tapi paling tidak aku dapat berbincang dengannya dan mendengar suaranya dan ya paling tidak sambil memandang matanya.

Nanda pun menanggapi dengan jawaban yang singkat seperti ketika aku menanyakan apakah gubernur Jakarta yang baru dapat menyelesaikan masalah banjir dan kemacetan, Nanda hanya menjawab, ”Semoga”. Dan selebihnya Nanda hanya seperti menjadi pendengar yang baik.

Aku pun akhirnya mempromosikan diri dari mulai menceritakan pekerjaan, rumahku ada dimana, dari lulusan mana sampai aku berasal dari mana. “Ah aku memang terlalu pede, tapi yang terpenting Nanda tidak melayangkan pikirannya jauh entah kemana, lebih baik dia mendengarkan aku berbicara”, ucapku dalam hati. Cukup lama kami berbincang dan akhirnya bis kami pun datang setelah ditunggu hampir setengah jam.

Kami pun beranjak dari halte dan menaiki bis tersebut. Cukup penuh dan kami pun berdiri didalam bis. Selama perjalanan, mata Nanda hanya menatap jalanan Jakarta dari jendela bis ini. Pikirannya sedang dibawa entah ke ruang mana, mungkin dia juga sudah melupakanku, lelaki yang mencoba berkenalan dengannya di halte itu. Tapi cantiknya tetap terlihat, dan aku pun masih saja berharap untuk mengenalnya lebih jauh.

Bis pun hampir sampai di perumahan Nanda, tapi dia seperti tidak menyadarinya. Lalu aku pun menegurnya, “Nanda, kamu ngga siap – siap, sebentar lagi kan sampai”, tanyaku. Dia seperti segera menyadari dan mulai mempersiapkan diri berjalan ke arah pintu. “Aku duluan ya”, pintanya. “Ya hati – hati“, jawabku. Dia pun segera memberhentikan bis, berjalan turun, berjalan menuju perumahannya dan perlahan menjauh dari pandanganku. Ingin sekali mengantarkannya pulang sampai depan rumahnya, tapi aku terlalu malu untuk itu.

Dan benar saja setelah sampai dirumah, aku masih saja memikirkannya. Seperti ada banyak hal yang ingin ku ketahui dari dirinya. Ingin sekali membantunya, dan ingin sekali melihatnya tertawa.

Seminggu lewat setelah pertemuan itu, aku masih tak sanggup melupakannya. Maka, Sabtu pagi ini, aku menjanjikan diriku untuk bertemu dengannya lagi. “Bisa, pasti bisa!!”, ucapku menyemangati diri sendiri.

Sore itu sekitar jam 4, aku pun membawa sepeda dan mulai menuju perumahan tempat Nanda tinggal. Aku putar – putar dengan sepeda kesayanganku, sudah beberapa kali putaran dan masih tidak melihat ada penampakan Nanda. Aku memang hobi sekali bermain sepeda, dari rumahku ke rumah Nanda hanya kira – kira satu jam dengan menggunakan sepeda. Hampir putus asa dan takut dibilang maling oleh warga karena aku sudah mondar – mandir disini beberapa kali, aku pun memutuskan untuk menunggunya didepan portal perumahannya. Dan kebetulan ada penjual mie ayam disana, aku pun makan mie ayam sambil masih berharap Nanda akan lewat didepanku.

Hampir habis tapi dia tak kunjung lewat, “Yah sudahlah memang belum waktunya ketemu”, batinku. Aku pun membayar mie ayamku. Sambil membayar, aku pun menanyakan ke bapak penjual apakah mengenal Nanda yang tinggal di perumahan disebrang warungnya ini. Bapaknya agak heran dan berusaha mengingat – ingat, tapi sungguh diluar dugaan dia mengenalnya, “Ah harapan memang selalu ada”, ucapku dalam hati dengan senang.

Beliau menjawab jika ada yang namanya Nanda dan sering beli mie ayamnya juga. Beliau berkata sambil menceritakan ciri – ciri dari Nanda yang dia maksud, dan ya sama persis dengan Nanda yang aku cari. Beliau bercerita bahwa nak Nanda sering beli di warungnya, tapi sudah hampir sebulan ini tidak kelihatan dan biasanya dia kesini bersama teman laki – lakinya. Tapi sayangnya bapak penjual mie ayam tidak mengetahui rumahnya. Aku pun berpamitan dan bergegas pulang. Sebelum pulang aku pun memutari perumahan ini sekali lagi. Dan tanpa disangka, aku melihat dirinya di rumah berpagar hijau itu.

Dia sedang menyirami tanamannya yang berada di teras rumahnya, aku melihat dari kejauhan. Setelah diskusi dengan diriku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk menghampirinya. Dan benar saja, dia kaget sekali melihatku yang datang menghampiri dan menyapanya.

Aku pun berbasa – basi lagi bahwa aku sedang melakukan aktivitas bersepeda yang kebetulan lewat perumahan ini dan tanpa sengaja melihatnya dari jauh. Nanda seperti menerima penjelasanku. Dia mempersilahkan aku untuk mampir, tak kuasa aku menolaknya, dan ini kesempatanku untuk berkenalan lebih jauh dengannya.

Aku pun dikenalkan dengan adik perempuannya yang bernama Asha, kami pun berbincang dan pembicaraan diantara kami pun terlihat lebih santai dan akrab. Sudah hampir maghrib, aku pun berpamitan pulang. Lalu sebelum pulang, aku pun meminta nomor teleponnya. Dia pun memberikannya tanpa ragu.

Aku jadi semakin sering bawa motor, bahkan setiap hari aku selalu menunggunya pulang bekerja, kebetulan Nanda sedang magang disalah satu toko kue cukup terkenal di Jakarta. Awalnya dia menolak untuk menerima ajakanku untuk mengantarnya pulang, tapi pada akhirnya aku dapat meyakinkan dirinya. Karena Jakarta sedang sering diguyur hujan, maka kami pun sering meneduh dihalte atau tempat makan. Disaat itulah kesempatanku untuk mengenalnya lebih jauh. Sedikit demi sedikit aku mulai mengenal dirinya. Nanda, perempuan baik – baik yang sedang terjebak dengan masa lalunya. Sebulan sudah laki – laki yang amat dikasihinya jauh pergi tanpa kabar.

Suatu hari adiknya, meneleponku dan ingin bertemu denganku, ada yang ingin diceritakan katanya. Sore itu kami pun bertemu, Asha pun becerita denganku tentang kondisi kakaknya, Asha bercerita tentang apa yang menyebabkan diri kakaknya berubah. Dan mempertegas jika hanya ingin main – main, lebih baik jangan dekati Nanda, begitu kira – kira pinta Asha.

Memang ada sedikit keanehan dari fisik Nanda, pernah suatu kali saat kita sedang makan bersama, tiba – tiba dia mual tanpa sebab yang jelas. Tapi semakin aku mengenalnya, entah mengapa aku merasa iba kepadanya, dan merasa bahwa aku harus menemani melewati cobaannya. Entah kenapa aku ingin sekali selalu berada disampingnya, tidak peduli apa kondisinya sekarang.

Aku baru 2 tahun tinggal di Jakarta, ayah dan ibuku sudah tidak ada sejak lama, mereka meninggal dalam suatu kecelakaan saat aku masih kecil. Aku anak semata wayang yang kemudian dirawat oleh nenekku di Surabaya. Hanya nenek yang membesarkanku sampai aku berhasil seperti sekarang. Aku sedang menyicil rumah, tapi nenek masih di Surabaya karena beliau tidak ingin pindah dari rumahnya. Aku terpaksa merantau ke Jakarta karena kesempatanku berkarir ada disini. Setiap hari aku selalu menelepon nenek, dan biasanya sekitar 2 bulan sekali aku rajin pulang ke Surabaya. Sayangku kepada nenek sungguh tak terkira, sudah beberapa kali nenek mendesakku untuk mencari pendamping hidup. Selain untuk teman hidupku, nenek juga ingin sekali menggendong cucu, karena umurnya yang semakin tua dan beliau sangat takut jika tak dapat melihat cucunya lahir. Dan setiap nenek membicarakan pernikahan, aku pasti selalu mengalihkannya dengan hal lain.

Kali ini, aku merasakan perasaan berbeda saat bersama Nanda, ada perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Yang pasti, aku ingin terus ada disampingnya. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta. Jatuh cinta kepada seorang perempuan yang lewat didepanku saat hujan disore itu. Seorang perempuan dengan wajah cantik namun sederhana, seorang perempuan yang sedang dilanda masalah dan hanya dia yang tahu akan hal ini. Nanda tak pernah bercerita sedikit pun tentang masa lalunya, aku hanya mengetahui dari adiknya. Dan seorang perempuan yang mungkin tengah berbadan dua!

2 bulan sudah aku mengenalnya. Setelah perdebatan yang panjang dengan diriku sendiri, entah mengapa suara ini yang menang. Dengan mendapat restu dari nenek, dan nenek mempercayai apapun pilihanku, akhirnya di malam itu aku memberanikan diri kerumahnya. Dengan berpakaian sangat rapih dan walau hanya seorang diri karena tidak punya saudara di Jakarta, aku melamar Nanda di hari itu. Nanda terlihat sangat terkejut, Asha juga menunjukkan raut wajah yang sama. Aku melamarnya dan bermaksud mengajaknya ke hubungan yang lebih serius. Aku mengeluarkan cincin dan memberikannya kepada Nanda. Nanda hanya memandangku, dan air matanya keluar dari matanya yang bulat.. dan dia masih terlihat cantik. Aku pun memakaikan cincin dijari manisnya, semanis senyumnya.

Keesokan hari, aku bertemu dengan ayahnya Nanda yang tinggal berbeda rumah dengan Nanda karena kebetulan ayahnya tinggal bersama istri barunya. Ibu Nanda sudah lama meninggal, Ayahnya memberi kami restu dan menyetujui kapan pun waktunya kami merencanakan pernikahan itu.

Sore itu.. Diteras rumahnya, Nanda tiba – tiba menangis.. dia minta aku peluk, aku pun memeluknya. “Terima kasih ya”, singkat ucapannya. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa sanggup berbicara.

Aku membawa Nanda ke Surabaya dan memperkenalkan dengan nenekku. Nenek senang sekali saat bertemu Nanda. Kami pun merencanakan pernikahan sederhana yang aka dilaksanakan 2 minggu lagi. Aku tahu memang ini terlalu cepat, tapi aku tahu bahwa Nanda tidak dapat menunggu. Walau dia tidak pernah bercerita, tapi aku tahu akan hal itu.

Saat pernikahan itu pun tiba, pernikahan sederhana, hanya dihadiri oleh kerabat dekat, tetangga dan teman – teman dekat. Pernikahan berlangsung khidmah. Kami pun resmi menjadi suami istri. Setelah resmi, Nanda ikut tinggal bersamaku, tapi terkadang masih tinggal dirumahnya karena memang rumah kami tidak terlalu jauh.

Dan.. anak tidak berdosa itu pun lahir.. aku dan Nanda sudah menjadi orang tua, dan rasa sayangku tidak kurang untuk keduanya. Aku harus bertanggung jawab dengan semua pilihanku. Dan aku menerima semua itu apa adanya.

Sejak bersamaku, Nanda sedikit demi sedikit kembali ceria. Aku masih ingat bagaimana awal kita bertemu, bagaimana pertama kalinya dia tersenyum dan yang paling aku ingat adalah bagaimana dia tertawa untuk pertama kalinya. “Ah Nanda, entah aku kesambet angin apa, tapi rasa ini coba aku ikuti. Aku yakin rasa ini tidak salah. Aku sudah mengalami perdebatan yang panjang dengan diriku sendiri sejak bertemumu. Semoga kamu dapat menjadi istri dan ibu yang baik bagi kami. Itu saja sudah cukup. Biarlah rahasiamu tetap menjadi milikmu Nand”, batinku.

Di ruang kantorku, terpajang poto kami bertiga, lucu sekali. Aku cukup lama memandang poto itu sambil mengingat saat pertama kali bertemunya.

Aku angkat telepon di meja kantorku, aku putar nomor telepon rumahnya karena Nanda sedang berada disana untuk bertemu adiknya. “Halo..” suara dari sebrang sana. “Halo.. mah, mamah masak apa hari ini? aku sebentar lagi sampai rumah ya”, ucapku.

-Rasa itu hanya ada satu, karena rasa adalah kebaikan, maka ikutilah terus rasa itu, ketika rasa dinodai, maka itu adalah keburukan.

Salam.

Minggu, 05 Mei 2013

Rahasiaku





Jauh dia melangkah tak terasa melayang menerpa
Kini kian dekat segala yang pernah ku damba
Lalu dari mana datangnya rindu
Syarat dengan beban walau dapat tertanggulangi
Tetapi terkadang ingin semua dapat kulupakan
Entah darimana datangnya rindu
Membuat kuingin berlari..
Biarkan aku kembali
Bermain berlari berputar menari
Biarkan aku kembali
Dimana ku slalu.. terlindungi..
Dapat ku melihat kehidupan didepan mataku
Slalu ku syukuri segalanya kini kunikmati
Lalu bagaimana datangnya rindu
Membuat ku ingin berlari..
Biarkan aku kembali
Bermain berlari berputar menari
Biarkan aku kembali
Dimana ku slalu.. terlindungi..
Biarkan aku kembali
Bermain berlari berputar menari
Biarkan aku kembali
Berkhayal melayang terbang jauh tinggi
Biarkan aku kembali
Dimana ku slalu.. terlindungi..


Sayup - sayup terdengar suara lembut Indra Lesmana dari siaran radio favoritku.  Tanpa kusadari nyanyian itu ikut melambungkan pikiranku, melayangkan imajinasiku entah kemana.. seperti membawa kembali diriku ke masa lalu, semacam dejavu. Mengingatkan akan orang – orang yang aku sayangi dimasa lampau yang telah satu persatu pergi. Ibuku, Ah mamaa.. cepat sekali dirimu pergi. Masih SMP kira - kira aku waktu itu, dan tak terasa sudah 15 tahun berlalu.
.
“Kak Nandaaaa...”, terdengar teriakan Asha dari luar kamarku. Asha itu adik perempuanku satu - satunya. “Yaaaa..”, jawabku. “Kenapaaaa..”, tanyaku lagi sambil berjalan membuka pintu kamar. “Ada yang nyariin tuuu, cowo, katanya teman lama”, ucap adikku. “Cowo? teman lama?”, ujarku dalam hati. Aku pun turun dari lantai 2 kamarku menuju teras rumah. 

Kaget sekali aku melihatnya, langkah kaki seperti tiba - tiba kaku melihat siapa yang ada diteras rumahku sekarang, bibirku seperti terkunci, suasana seperti dilanda dingin tiba – tiba, kakiku seperti kram tak dapat melangkah lagi, mataku mungkin tak berkedip, hanya berdiri dan terdiam beberapa saat. “Teeee sateeeee.. sateeeee”, teriak mamang sate yang lewat depan rumahku. Aku sontak seperti tersadarkan. “Hai..”, ucap suara didepanku. Aku masih terdiam. Sapaan dan senyum itu... rasanya lama sekali tak melihat dan mendengar suara itu. “Apa kabar Nda?”, tanyanya. “Baik”, jawabku singkat. 

Dia Aldo, sahabatku sekaligus pacar yang sudah hampir 5 tahun tidak pernah kutemui lagi. Awalnya kita sahabatan, sampai akhirnya kita memutuskan untuk berpacaran. Pacaran kita baik – baik saja, karena mungkin kita sahabatan dan sudah cukup kenal karakter masing – masing. Aldo punya hobi jalan – jalan, backpacker dan naik gunung. Dia slalu membawa cerita yang berbeda setelah pulang dari hobinya itu. Kadang dia mengambil cuti panjang untuk mewujudkan hobinya. Dia juga aktif menjadi volunteer pengajar diberbagai kesempatan. Aku, lebih senang dengan hobi memasakku. Ya, waktu itu aku masih berkuliah di akademi perhotelan di Jakarta, sedangkan Aldo sudah bekerja sebagai seorang staff akunting disalah satu bank swasta terbesar di Indonesia. 

Sampai suatu hari Aldo mengajakku makan malam di resto yang cukup mewah di Jakarta, cukup romantis dan suprise sekali, karena Aldo tidak pernah memperlakukan aku seperti ini sebelumnya. Masih ingat jelas hari itu karena menjadi salah satu hari bahagia buatku. Candle light, musik jazz, hari itu serasa milik kita berdua. Perfect. Sewaktu mengantarku pulang, Aldo berkata kalau dia sangat menyayangi aku, tak terkira bagaimana senangnya hatiku mendengarnya. Sambil menggenggam tanganku dia pun berkata.. “Nda, aku pamit ya?”, ucapnya. Aku pikir pamit pulang karena habis mengantarkanku. Aku pun mengangguk pelan. “Maksudku aku pamit mau pergi dalam waktu yang cukup lama”, lanjutnya lagi. “Mau kemana?”, jawabku dengan keheranan. “Aku akan keluar kota, ke pedalaman tepatnya”, lanjutnya. “Maksudnya pedalaman bagaimana Do?”, tanyaku dengan masih sangat keheranan.

Aldo pun bercerita bahwa salah satu cita - citanya adalah perpetualang melihat isi dunia. Kali ini dia dan beberapa teman – temannya akan ke pedalaman, tepatnya ke pulau Halmahera untuk mengajar disana. Aldo keterima disalah satu yayasan yang mengirimkan tenaga kerja pengajar ke pedalaman. Dia dikontrak selama satu tahun. Dan kemungkinan akan susah untuk berkomunikasi.  Aldo pun bercerita panjang lebar mengenai hobi mengajar dan bertualangnya. Baginya ini kesempatan yang selalu ia tunggu. Aku pun terdiam, tidak dapat berkata apa – apa. “Aku berangkat besok pagi ya”, lanjutnya lagi. Bagai petir disiang bolong aku mendengarnya.

Malam itu aku tidak dapat tidur, bagaimana dia bisa berpamitan sebegitu mendadaknya. “Jahat sekali kamu Do, tidak memikirkan perasaanku??”, ucapku dalam hati. Lama sekali malam itu aku bertengkar dengan diriku sendiri. Pada akhir perdebatan dengan diriku sendiri, akhirnya sisi baikku berusaha untuk menerima dan menghargai keputusan Aldo. Aku pun mengirimkan pesan singkat kepadanya.. “Aldo, aku sangat menghargai keputusanmu. Aku akan baik – baik saja disini. Kalau ada kesempatan untuk berkomunikasi, tolong hubungi aku ya, paling tidak aku mengetahui kabar kamu disana. Aku pasti akan sangat rindu kamu, setahun cukup lama buatku. Jaga kesehatan ya, jaga diri baik – baik, aku akan slalu bantu doa untuk kamu. Hati – hati ya Do”, begitu kira – kira isi smsku.

Karena tidur larut aku pun bangun kesiangan. Cek sms tak ada sms masuk, mencoba telepon Aldo tapi tak bisa. “Oo mungkin sedang diperjalanan”, ucapku dalam hati. Seharian aku tak mau jauh dari hp, takut kalau Aldo menghubungiku. Seharian tidak ada kabar darinya. “Ooo mungkin besok karena ke pedalaman paling tidak butuh waktu seharian”, hiburku dalam hati. Sehari, dua hari dan.. satu minggu aku tak dapat kabar darinya. Aku panik! Aku coba menghubungi mamahnya, dan mamahnya berkata bahwa Aldo kemarin sore menghubunginya dan menyampaikan kalau dia baik – baik saja. Dia kelihatannya senang dengan pekerjaannya disana. “Bagaimana bisa Aldo tidak menghubungiku!!”, batinku. Satu minggu lewat tak terasa sebulan sudah aku tidak pernah dihubunginya. Aku pun tidak dapat menghubungi nomornya karena tidak pernah aktif. Aku coba hubungi mamahnya, pasti mamahnya slalu ditelepon seminggu sekali sedangkan aku tidak sama sekali. “Apa2an ini!”, batinku kesal sekaligus sedih. Aku mencoba bertemu dengan mamahnya Aldo, dan menitipkan pesan “Mah, tolong sampaikan salam ke Aldo ya, tolong sampaikan jaga diri dan kesehatannya”, pintaku. “Ibunya pun tersenyum memandangku, “Aldo memang berjiwa petualang, kamu kan tau itu, hobi dari naik gunung sampai backpacker memang sudah sering dia lakukan. Sudah biarkan saja dia melakukan apa yang dia senangi. Kamu juga ya, kerjakan apa yang kamu sukai, jangan terpaku Aldo dan akan merusak masa depanmu. Tenang saja Nda, jodoh tidak kemana. Mungkin Aldo ingin menikmati hari – harinya disana. Nanda fokus sama masa depan Nanda juga ya, kalau nanti bertemu yang lebih baik dari Aldo, tidak apa Nda, jangan nunggu Aldo, kamu bisa jadi perawan tua”, ucap panjang lebar mamahnya Aldo sambil mencandai aku. “Bukan gitu mah, Aldo paling tidak memberitahukan kabarnya kepadaku walau hanya satu minggu sekali”, jawabku dengan sedih. “Mamah tidak tahu apakah Aldo benar memang akan pulang dalam waktu setahun ini, ataukah dapat lebih..”, lanjut mamahnya. Suasana tiba - tiba dingin, badanku seperti membeku, dingin, tidak tahu harus bicara apa lagi.

Setahun, dua tahun bahkan hampir lima tahun Aldo benar – benar hilang seperti ditelan bumi. Atau mungkin sudah ditelan bumi. Entahlah. Mamahnya Aldo juga seperti meyakinkan aku bahwa Aldo baik – baik saja, tapi tidak pernah ada salam buatku katanya. Aldo hanya diam jika mamahnya mulai membicarakanku. “Ah Aldo.. aku salah apa..”, ucapku lirih.

Dan tiba - tiba hari ini, malam ini, wajah itu, senyum itu, suara itu.. kembali  didepanku. Antara mimpi atau bukan atau mungkin aku melihat hantu?? Ada sepersekian menit  kita tidak berbicara, sampai akhirnya dia berkata Haii..

Aku pun mempersilahkan duduk dan mencoba memulai obrolan. “Bagaimana kabarmu?”, tanyaku. “Baik Nda, kamu sendiri gimana?”, tanyanya. “Baik”, jawabku singkat. Lalu kami terdiam beberapa saat. Aku pun memulai bertanya lagi, “Kapan datang Do?”. “Kemarin malam Nda”, jawabnya. “Kamu tidak berubah ya”, ucapnya tiba – tiba. Aku tak tahu harus jawab apa, ingin marah tapi tak bisa, ingin menangis juga sepertinya air mataku sudah kering untuknya. 

“Maaamaaaaaa..”, teriak suara anak kecil dari dalam rumah. Langkah kecilnya pun menghampiriku, aku menyambutnya dengan tanganku dan memangkunya. Kami terdiam lagi, yang terdengar hanya ocehan dari bocah yang baru mulai belajar berbicara.

“Anak kamu lucu sekali Nda”, tiba – tiba tanyanya. Aku tak sanggup menjawabnya. Diam bahkan hampir sama mendekati bisu. “Aku senang kamu sudah bahagia dengan keluarga kecilmu Nda”, ucapnya lagi. Tak terasa ada air mata yang sudah kering untuknya, mengalir melewati pipiku. Aku menangis.

“Maap ya Nda, selama ini aku menghilang. Ada banyak hal yang ingin aku lihat diluar sana. Jiwaku sepertinya memang selalu ingin berpergian ke tempat yang jauh. Sudah banyak pulau, desa dan pedalaman yang aku singgahi, tapi sepertinya aku belum selalu merasa puas. Tak terasa ternyata sudah 5 tahun. Aku kembali. Semua berubah. Mamah bertambah tua, dan kamu sudah punya keluarga sendiri. Hanya wajahmu yang tidak berubah, tetap cantik”, ujarnya panjang lebar. Aku hanya bisa menangis sambil memeluk bocak kecilku. 

“Aku merasa bahwa angin selalu ingin membawaku berpergian. Entalah mungkin ada yang salah denganku sepertinya. Mungkin hari ini atau besok atau bisa kapan saja, aku akan pergi lagi. Mamah dan keluargaku seperti pasrah dengan semua keinginan berpergianku. Tidak ada yang dapat menghalangiku Nda. Tidak ada. Aku punya keluarga diluar sana, disetiap tempat yang ku singgahi dan ku torehkan ilmu mengajarku disana. Dan aku selalu ingin berpergian ketempat yang baru dan menuliskan jejakku disana”, tuturnya panjang lebar lagi.

“Aku menyadari jika aku memutuskan untuk menikah dengan siapa pun itu, itu sama saja mengubur apa yang ingin aku kerjakan. Aku harus memilih Nda, dan pilihanku adalah tidak terikat. Aku tidak kuasa berkata ini padamu dihari itu. Aku mencoba melepasmu walau sebenarnya tidak ingin. Ada beberapa hal yang mungkin kamu tak mengerti Nda, maaf Nda, maaf sekali”, ujarnya.

Aku diam. Mencoba menenangkan diri. Setelah agak tenang, aku pun berkata, “Lakukan apa yang kamu suka Do, buat ku kamu tak lebih dari sebuah kenangan”, jawabku pendek. Terdengar kecil isak tangis dari lelaki disebelahku yang wajah dan suaranya tidak berubah, dan senyum itu.. 

“Maaf, maafin aku”, pintanya. Diam. Suasana diam lagi.

“Mau sampai kapan kamu terus terbawa angin Do?”, tanyaku. “Tidak tahu Nda, mungin suatu hari atau mungkin tidak berhenti”, jawabnya.

“Kamu jaga diri baik – baik ya Nda, aku yakin kamu dapat menjadi bunda yang terbaik untuk keluargamu. Doaku slalu ada namamu Nda”, ucapnya. Tersentak aku mendengarnya.

Aldo pun berpamitan. “Aku lega kamu sudah berkeluarga Nda”, ucapnya sebelum dia pamit.

Aku tak kuasa, tidak tahu harus menjawab apa.

Aldo berpamitan pulang, dan mungkin tidak tahu akan kembali lagi atau tidak untuk bertemuku. Aku menatap kepergiannya dengan seribu diam. 

“Aldo, mungkin kamu akan selalu berpergian terbawa angin, jiwamu seperti haus akan pencarian jati diri. Kamu mencarinya diluar sana. Padahal kebahagiaan itu ada didekatmu. Ada di orang - orang yang kamu sayangi dan menyayangi kamu juga. Tapi entah angin apa yang slalu membawamu untuk terus berpindah. Apa kau tidak mau membangun sebuah keluarga kecil dimasa depan. Dan membangun rumah kecil untuk tempatmu kembali dan pulang. Ah tapi kamu bukan terbawa oleh angin, tapi kamulah angin itu Do”, aku berucap dalam hati, menangis sambil memeluk bocah laki – laki kecil yang lucu dan sehat. 

“Kenangan bersamamu akan slalu kusimpan baik – baik. Akan kujaga anak ini baik – baik Do. Kamu mungkin tidak menyadari bahwa anak yang aku peluk ini sangat mirip denganmu. Yaaa.. ini anakmu do. Suamiku mungkin tidak menyadari, bahwa dalam diriku sudah mengalir terlebih  dahulu darah dagingmu. Kututup rapat – rapat rahasia ini. Kusimpan baik – baik, ku kunci dan kuncinya aku buang jauh – jauh didasar samudra hatiku, agar tidak dapat terbuka dengan apapun. Hanya aku yang tahu akan hal ini. Biarlah kamu pergi jauh entah kemana dan dengan siapa. Tapi titipan ini, akan menjadi kenangan nyata antara kamu dan aku”, lirihku.

Angin malam berhembus pelan meniup rambut dan seluruh badanku. Tiba – tiba turun air setitik demi setitik dari langit yang telah menghitam. Masih ada bintang diatas sana. Cantik sekali. Tiba – tiba suara telepon berbunyi dari dalam rumah. Aku bergegas mengangkat telepon. “Halo.. mah, mamah masak apa hari ini? aku sebentar lagi sampai rumah ya”, ucap suara dari sebrang telepon.

-Dalamnya lautan dapat diukur, tapi dalamnya hati manusia.. hanya diri sendiri yang tahu.

Salam.