Masih
ingat saat sore itu.. tidak ada senja, hanya ada hujan yang turun dengan
derasnya..
Jakarta
seperti diguyur hujan tiada henti. Air seperti tumpah ruah dan tak kunjung
habis. Waktu itu sekitar jam 5 sore, aku sedang berada didalam bis dan sedang
bermacet ria bersama para penumpang. “Arrghh macet!! Cerita lama kota ini yang
terus berulang. Belum lagi hujan deras tiada henti yang akan disusul dengan
banjir. Adakah solusi terbaik untuk ibukota ini??!”, tanyaku dalam hati. Tiba
disuatu halte, aku memutuskan untuk turun, sebentar lagi waktu buka puasa,
kebetulan sedang puasa senin kamis dan tidak membawa makanan atau minuman untuk
dijadikan menu membatalkan puasa. Dihalte berikutnya pun aku memutuskan turun
mencari warung yang paling tidak menjual air mineral. “kiri Bang”, ucapku.
Ada
satu warung makan yang berukuran tidak terlalu besar di dekat halte tersebut.
Aku pun mampir, memesan air mineral dan segelas teh manis hangat. Dugdugduuugg..
suara bedug maghrib dari salah satu stasiun tv swasta pun terdengar, menandakan
waktu maghrib untuk Jakarta dan sekitarnya. “Alhamdulillah..”, ucapku dalam
hati.
Sambil
menunggu hujan agak reda sedikit, aku pun memesan nasi soto. Saat sedang makan
sambil memandang jalanan, saat itu aku melihat seorang perempuan melintas
didepanku, sambil menggunakan payung untuk melindungi dirinya dari guyuran air
hujan. Kaos putih dan rok pink, dengan sepatu kets yang agak mulai kuyup,
rambut sebahu, wajah lokal dan kulit sawo matang. Sederhana namun cantik
sekali. Bibirnya mulai menggigil, mungkin karena tidak menggunakan baju hangat
atau jaket. Tapi mata bulatnya terlihat sangat sendu memandang lurus kedepan.
Raut wajahnya seperti sedang sedih dan pikirannya seperti sedang pergi entah
dimana. Dia berjalan perlahan lewat didepan warung makan ini. Dan aku
memandangnya, mungkin kedipan mataku juga dapat dihitung hanya beberapa kali.
Nasi
sotoku pun hampir habis, diam sejenak sambil menikmati beberapa isapan rokok,
ingatanku masih tertuju pada perempuan itu dan emtah mengapa rasa iba pun
muncul dalam hatiku. Setelah puas dengan merokok, aku pun membayar pesananku
dan bergegas menuju halte untuk melanjutkan perjalanan pulangku, karena tidak
membawa payung, ya terpaksa aku hujan – hujanan tapi bersyukur karena sudah
tidak terlalu deras.
Sambil
setengah berlari, aku pun sampai dihalte. Dan setelah melap sedikit baju dan
badanku, aku pun langsung mengambil posisi duduk yang kosong sambil menunggu bis.
Melihat kearah kanan dan.. perempuan itu, ada tepat disebelahku, tetap dengan
pandangan mata yang kosong dan lurus ke arah jalan yang sedang diguyur air
hujan.
Beberapa
saat setelah berdebat dengan diriku sendiri, aku pun akhirnya memberanikan diri
untuk menegurnya. Kata pertama yang keluar dari mulutku dan agak sedikit
terbata.. “Hai..”.
Perempuan
itu masih tak bergeming dari lamunannya, mungkin karena suaraku juga tidak
terdengar olehnya. Aku pun melanjutkan sapaan.. “Maaf mba, sedang menunggu bis
ke arah mana?”. Tapi perempuan itu masih juga tidak bergeming.
Dengan
sedikit menggunakan suara batuk, aku pun mengulang kembali sapaanku, “eheem
uhuuk.. Maaf mba, sedang menunggu bis ke arah mana?”. Perempuan itu pun
seperti terbangun dari tidur panjangnya, dengan sedikit terkejut, dia menolehkan wajahnya ke arahku, dan... aku dapat melihat dengan jelas jika wajah
cantiknya tetap tidak dapat disembunyikan walaupun dengan raut sedihnya.
Dia
pun menoleh dan memandangku dalam sepersekian menit, cukup lama memang, mungkin
masih dalam kondisi terkejut. Suara pertamanya pun keluar dari bibirnya yang
manis, “Tanya sama saya mas?”, ucapnya. “Iya”, jawabku singkat dan masih
terpana memandang dalam matanya.
“Tanya
apa mas tadi?”, lanjut perempuan itu. “Ooo tadi saya tanya sedang menunggu bis
kearah mana?”, lanjutku mengulangnya. “Saya ke arah Tebet”, jawabnya singkat.
“Wah kebetulan satu arah, cukup lama ya sepertinya bis akan datang”, jawabku
basa – basi. “Iya”, jawabnya lagi singkat.
Aku
memberanikan diri lagi, “Kenalkan namaku Riko”, aku memperkenalkan diri sambil
menjulurkan tangan. Lama tidak dapat sambutan dari perempuan itu dan akhirnya..
kami bersalaman. “Aku Nanda”, jawabnya. “Ooo namanya Nanda, cantik sekali
seperti wajahnya’, ucapku dalam hati.
Aku
pun mulai berbasa – basi dengan pertanyaan lain yang mungkin tidak terlalu
penting, seperti menanyakan apakah Tebet akan kebanjiran, lalu kira – kira
besok akan hujan seperti ini lagi atau tidak, sampai apakah gubernur Jakarta
yang baru dapat menyelesaikan masalah banjir dan kemacetan. Agak aneh memang
pertanyaanku, tapi paling tidak aku dapat berbincang dengannya dan mendengar
suaranya dan ya paling tidak sambil memandang matanya.
Nanda
pun menanggapi dengan jawaban yang singkat seperti ketika aku menanyakan apakah
gubernur Jakarta yang baru dapat menyelesaikan masalah banjir dan kemacetan,
Nanda hanya menjawab, ”Semoga”. Dan selebihnya Nanda hanya seperti menjadi
pendengar yang baik.
Aku
pun akhirnya mempromosikan diri dari mulai menceritakan pekerjaan, rumahku ada
dimana, dari lulusan mana sampai aku berasal dari mana. “Ah aku memang terlalu
pede, tapi yang terpenting Nanda tidak melayangkan pikirannya jauh entah
kemana, lebih baik dia mendengarkan aku berbicara”, ucapku dalam hati. Cukup
lama kami berbincang dan akhirnya bis kami pun datang setelah ditunggu hampir
setengah jam.
Kami
pun beranjak dari halte dan menaiki bis tersebut. Cukup penuh dan kami pun
berdiri didalam bis. Selama perjalanan, mata Nanda hanya menatap jalanan
Jakarta dari jendela bis ini. Pikirannya sedang dibawa entah ke ruang mana,
mungkin dia juga sudah melupakanku, lelaki yang mencoba berkenalan dengannya di
halte itu. Tapi cantiknya tetap terlihat, dan aku pun masih saja berharap untuk
mengenalnya lebih jauh.
Bis
pun hampir sampai di perumahan Nanda, tapi dia seperti tidak menyadarinya. Lalu
aku pun menegurnya, “Nanda, kamu ngga siap – siap, sebentar lagi kan sampai”,
tanyaku. Dia seperti segera menyadari dan mulai mempersiapkan diri berjalan ke
arah pintu. “Aku duluan ya”, pintanya. “Ya hati – hati“, jawabku. Dia pun
segera memberhentikan bis, berjalan turun, berjalan menuju perumahannya dan
perlahan menjauh dari pandanganku. Ingin sekali mengantarkannya pulang sampai
depan rumahnya, tapi aku terlalu malu untuk itu.
Dan
benar saja setelah sampai dirumah, aku masih saja memikirkannya. Seperti ada
banyak hal yang ingin ku ketahui dari dirinya. Ingin sekali membantunya, dan
ingin sekali melihatnya tertawa.
Seminggu
lewat setelah pertemuan itu, aku masih tak sanggup melupakannya. Maka, Sabtu
pagi ini, aku menjanjikan diriku untuk bertemu dengannya lagi. “Bisa, pasti
bisa!!”, ucapku menyemangati diri sendiri.
Sore itu
sekitar jam 4, aku pun membawa sepeda dan mulai menuju perumahan tempat Nanda
tinggal. Aku putar – putar dengan sepeda kesayanganku, sudah beberapa kali
putaran dan masih tidak melihat ada penampakan Nanda. Aku memang hobi sekali
bermain sepeda, dari rumahku ke rumah Nanda hanya kira – kira satu jam dengan
menggunakan sepeda. Hampir putus asa dan takut dibilang maling oleh warga
karena aku sudah mondar – mandir disini beberapa kali, aku pun memutuskan untuk
menunggunya didepan portal perumahannya. Dan kebetulan ada penjual mie ayam
disana, aku pun makan mie ayam sambil masih berharap Nanda akan lewat
didepanku.
Hampir
habis tapi dia tak kunjung lewat, “Yah sudahlah memang belum waktunya ketemu”,
batinku. Aku pun membayar mie ayamku. Sambil membayar, aku pun menanyakan ke
bapak penjual apakah mengenal Nanda yang tinggal di perumahan disebrang
warungnya ini. Bapaknya agak heran dan berusaha mengingat – ingat, tapi sungguh
diluar dugaan dia mengenalnya, “Ah harapan memang selalu ada”, ucapku dalam
hati dengan senang.
Beliau
menjawab jika ada yang namanya Nanda dan sering beli mie ayamnya juga. Beliau
berkata sambil menceritakan ciri – ciri dari Nanda yang dia maksud, dan ya sama
persis dengan Nanda yang aku cari. Beliau bercerita bahwa nak Nanda sering beli
di warungnya, tapi sudah hampir sebulan ini tidak kelihatan dan biasanya dia
kesini bersama teman laki – lakinya. Tapi sayangnya bapak penjual mie ayam
tidak mengetahui rumahnya. Aku pun berpamitan dan bergegas pulang. Sebelum
pulang aku pun memutari perumahan ini sekali lagi. Dan tanpa disangka, aku
melihat dirinya di rumah berpagar hijau itu.
Dia
sedang menyirami tanamannya yang berada di teras rumahnya, aku melihat dari
kejauhan. Setelah diskusi dengan diriku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk
menghampirinya. Dan benar saja, dia kaget sekali melihatku yang datang
menghampiri dan menyapanya.
Aku
pun berbasa – basi lagi bahwa aku sedang melakukan aktivitas bersepeda yang
kebetulan lewat perumahan ini dan tanpa sengaja melihatnya dari jauh. Nanda
seperti menerima penjelasanku. Dia mempersilahkan aku untuk mampir, tak kuasa
aku menolaknya, dan ini kesempatanku untuk berkenalan lebih jauh dengannya.
Aku
pun dikenalkan dengan adik perempuannya yang bernama Asha, kami pun berbincang
dan pembicaraan diantara kami pun terlihat lebih santai dan akrab. Sudah hampir
maghrib, aku pun berpamitan pulang. Lalu sebelum pulang, aku pun meminta nomor
teleponnya. Dia pun memberikannya tanpa ragu.
Aku
jadi semakin sering bawa motor, bahkan setiap hari aku selalu menunggunya
pulang bekerja, kebetulan Nanda sedang magang disalah satu toko kue cukup
terkenal di Jakarta. Awalnya dia menolak untuk menerima ajakanku untuk mengantarnya
pulang, tapi pada akhirnya aku dapat meyakinkan dirinya. Karena Jakarta sedang
sering diguyur hujan, maka kami pun sering meneduh dihalte atau tempat makan.
Disaat itulah kesempatanku untuk mengenalnya lebih jauh. Sedikit demi sedikit
aku mulai mengenal dirinya. Nanda, perempuan baik – baik yang sedang terjebak
dengan masa lalunya. Sebulan sudah laki – laki yang amat dikasihinya jauh pergi
tanpa kabar.
Suatu
hari adiknya, meneleponku dan ingin bertemu denganku, ada yang ingin
diceritakan katanya. Sore itu kami pun bertemu, Asha pun becerita denganku
tentang kondisi kakaknya, Asha bercerita tentang apa yang menyebabkan diri
kakaknya berubah. Dan mempertegas jika hanya ingin main – main, lebih baik
jangan dekati Nanda, begitu kira – kira pinta Asha.
Memang
ada sedikit keanehan dari fisik Nanda, pernah suatu kali saat kita sedang makan
bersama, tiba – tiba dia mual tanpa sebab yang jelas. Tapi semakin aku
mengenalnya, entah mengapa aku merasa iba kepadanya, dan merasa bahwa aku harus
menemani melewati cobaannya. Entah kenapa aku ingin sekali selalu berada
disampingnya, tidak peduli apa kondisinya sekarang.
Aku
baru 2 tahun tinggal di Jakarta, ayah dan ibuku sudah tidak ada sejak
lama, mereka meninggal dalam suatu kecelakaan saat aku masih kecil. Aku anak
semata wayang yang kemudian dirawat oleh nenekku di Surabaya. Hanya nenek yang
membesarkanku sampai aku berhasil seperti sekarang. Aku sedang menyicil rumah,
tapi nenek masih di Surabaya karena beliau tidak ingin pindah dari rumahnya.
Aku terpaksa merantau ke Jakarta karena kesempatanku berkarir ada disini.
Setiap hari aku selalu menelepon nenek, dan biasanya sekitar 2 bulan sekali aku
rajin pulang ke Surabaya. Sayangku kepada nenek sungguh tak terkira, sudah
beberapa kali nenek mendesakku untuk mencari pendamping hidup. Selain untuk
teman hidupku, nenek juga ingin sekali menggendong cucu, karena umurnya yang
semakin tua dan beliau sangat takut jika tak dapat melihat cucunya lahir. Dan
setiap nenek membicarakan pernikahan, aku pasti selalu mengalihkannya dengan
hal lain.
Kali
ini, aku merasakan perasaan berbeda saat bersama Nanda, ada perasaan yang tidak
bisa kujelaskan. Yang pasti, aku ingin terus ada disampingnya. Mungkin ini yang
namanya jatuh cinta. Jatuh cinta kepada seorang perempuan yang lewat didepanku
saat hujan disore itu. Seorang perempuan dengan wajah cantik namun sederhana,
seorang perempuan yang sedang dilanda masalah dan hanya dia yang tahu akan hal
ini. Nanda tak pernah bercerita sedikit pun tentang masa lalunya, aku hanya
mengetahui dari adiknya. Dan seorang perempuan yang mungkin tengah berbadan
dua!
2
bulan sudah aku mengenalnya. Setelah perdebatan yang panjang dengan diriku
sendiri, entah mengapa suara ini yang menang. Dengan mendapat restu dari nenek,
dan nenek mempercayai apapun pilihanku, akhirnya di malam itu aku memberanikan
diri kerumahnya. Dengan berpakaian sangat rapih dan walau hanya seorang diri
karena tidak punya saudara di Jakarta, aku melamar Nanda di hari itu. Nanda
terlihat sangat terkejut, Asha juga menunjukkan raut wajah yang sama. Aku
melamarnya dan bermaksud mengajaknya ke hubungan yang lebih serius. Aku
mengeluarkan cincin dan memberikannya kepada Nanda. Nanda hanya memandangku,
dan air matanya keluar dari matanya yang bulat.. dan dia masih terlihat cantik.
Aku pun memakaikan cincin dijari manisnya, semanis senyumnya.
Keesokan
hari, aku bertemu dengan ayahnya Nanda yang tinggal berbeda rumah dengan Nanda
karena kebetulan ayahnya tinggal bersama istri barunya. Ibu Nanda sudah lama
meninggal, Ayahnya memberi kami restu dan menyetujui kapan pun waktunya kami
merencanakan pernikahan itu.
Sore
itu.. Diteras rumahnya, Nanda tiba – tiba menangis.. dia minta aku peluk, aku
pun memeluknya. “Terima kasih ya”, singkat ucapannya. Aku hanya menganggukkan
kepala tanpa sanggup berbicara.
Aku
membawa Nanda ke Surabaya dan memperkenalkan dengan nenekku. Nenek senang
sekali saat bertemu Nanda. Kami pun merencanakan pernikahan sederhana yang aka
dilaksanakan 2 minggu lagi. Aku tahu memang ini terlalu cepat, tapi aku tahu
bahwa Nanda tidak dapat menunggu. Walau dia tidak pernah bercerita, tapi aku
tahu akan hal itu.
Saat
pernikahan itu pun tiba, pernikahan sederhana, hanya dihadiri oleh kerabat
dekat, tetangga dan teman – teman dekat. Pernikahan berlangsung khidmah. Kami
pun resmi menjadi suami istri. Setelah resmi, Nanda ikut tinggal bersamaku,
tapi terkadang masih tinggal dirumahnya karena memang rumah kami tidak terlalu
jauh.
Dan..
anak tidak berdosa itu pun lahir.. aku dan Nanda sudah menjadi orang tua, dan
rasa sayangku tidak kurang untuk keduanya. Aku harus bertanggung jawab dengan
semua pilihanku. Dan aku menerima semua itu apa adanya.
Sejak
bersamaku, Nanda sedikit demi sedikit kembali ceria. Aku masih ingat bagaimana
awal kita bertemu, bagaimana pertama kalinya dia tersenyum dan yang paling aku
ingat adalah bagaimana dia tertawa untuk pertama kalinya. “Ah Nanda, entah aku
kesambet angin apa, tapi rasa ini coba aku ikuti. Aku yakin rasa ini tidak
salah. Aku sudah mengalami perdebatan yang panjang dengan diriku sendiri sejak
bertemumu. Semoga kamu dapat menjadi istri dan ibu yang baik bagi kami. Itu
saja sudah cukup. Biarlah rahasiamu tetap menjadi milikmu Nand”, batinku.
Di
ruang kantorku, terpajang poto kami bertiga, lucu sekali. Aku cukup lama
memandang poto itu sambil mengingat saat pertama kali bertemunya.
Aku
angkat telepon di meja kantorku, aku putar nomor telepon rumahnya karena Nanda
sedang berada disana untuk bertemu adiknya. “Halo..” suara dari sebrang sana.
“Halo.. mah, mamah masak apa hari ini? aku sebentar lagi sampai rumah ya”,
ucapku.
-Rasa itu hanya ada satu, karena rasa
adalah kebaikan, maka ikutilah terus rasa itu, ketika rasa dinodai, maka itu
adalah keburukan.
Salam.