Selasa, 16 Juli 2013

The Power of Silaturahmi

Ramadhan ya Ramadhan
Tegal – Pemalang, 8 Juli – 14 Juli 2013

Ini pengalaman baru buatku dan adikku satu – satunya untuk pertama kalinya berpuasa di kampung bersama nenek di Tegal, desa Randugunting. Biasanya kami berkumpul ketika di hari raya Idul Fitri, tapi entah kenapa tahun ini rasanya ingin sekali merasakan puasa bersama saudara – saudara yang ada di kampung. Di Tegal adalah keluarga besar dari papahku. Karena kami mengikuti pemerintah, maka puasa tahun 2013 ini kami melaksanakannya pada hari rabu tanggal 10 Juli 2013.

Kami pun berangkat dari stasiun Pasar Senen dengan menggunakan kereta Mathamarja jurusan Malang yang melewati dan berhenti di stasiun Tegal. Kereta ekonomi ac ini berangkat siang sekitar pukul 13.40 WIB dengan harga tiket yang sudah naik sekitar Rp. 130.000,00 / orang.

Selain berpuasa di hari pertama dan pertama kalinya bersama nenek, aku dan adikku juga melaksanakan teraweh pertama kalinya disana. Sebenarnya nenekku sudah jarang sekali ke masjid dikarenakan kakinya yang sudah tidak kuat berjalan dan berdiri lama, tapi malam itu beliau seperti terlihat kuat, mungkin juga karena ingin merasakan pergi teraweh ke masjid bersama cucu – cucunya.

Nenekku

Kami pun solat di masjid yang lokasinya masih di dekat rumah. Kami terbiasa dengan solat teraweh yang rakaatnya berjumlah 11 rakaat, tapi disana berjumlah 23 rakaat. Sebenarnya sama saja 11 atau 23 rakaat, yang penting adalah niatnya. Kalau dari waktu selesai, hampir tidak ada bedanya karena 23 rakaat ternyata tidak memakan waktu yang lama dikarenakan pembacaan surat dalam setiap rakaat yang cepat dan pembacaan surat pilihan yang ayatnya tidak terlalu panjang. Solat teraweh 23 rakaat disana terasa seperti sedang marathon hehee, karena solatnya terasa cepat sekali. Nenekku juga melaksanakan solat teraweh sampai selesai. Hebatnya nenekku.. semoga sehat selalu ya nek..

Sahur pertama di rumah nenek dan bersama saudara – saudara disana tersana menyenangkan, kami sahur dengan memakan masakan rumah seadanya tapi terasa mewah. Mungkin karena kebersamaan maka rasa makanan pun terasa nikmat Tak lupa kami menyantap makanan khas Tegal, salah satunya adalah soto tauco. Soto enak yang hanya ada di Tegal. Dan yang paling terkenal adalah warung yang berlokasi di gang senggol belakang kantor polisi, di dekat alun - alun.

Soto Tauco Khas Tegal

Di hari ketiga kami disana, aku pun memutuskan melanjutkan perjalanan ke kota Pemalang untuk silaturahmi dengan keluarga dari mamahku disana dan nyekar. Tapi perjalan ini diteruskan tanpa adikku dikarenakan adikku sudah harus masuk kerja di keesokan harinya. Dengan menggunakan bis 3 / 4 jurusan Tegal – Pemalang, aku pun meneruskan kakiku untuk bersilaturahmi. Ongkos bis ini sekitar Rp. 8.000,00. / orang.

Sampai di Pemalang, tepatnya di desa Cibelok, yang terlintas dalam benakku adalah “wah kota ini terasa agak ramai, atau mungkin yang sedang silaturahmi dengan keluarga yang ada di Pemalang sudah pada mudik ya seperti aku ini hehee”. Aku menginap selama 4 hari 3 malam disana. Tinggal di rumah peninggalan ibu dan bapak dari mamahku. Rumah tua dan lugu. Kami anak cucunya menyebutnya rumah lugu. Rumah ini tidak ada yang menempati, tapi dari mulai bulan ini sampai seterusnya, mungkin akan ada bude dan padeku yang akan tinggal disini dikarenakan mereka ingin menghabiskan masa tuanya di kampung.

Rumah Lugu

Aku sepintas membayangkan ke jaman dulu, sewaktu nenek dan kakekku masih hidup dan tinggal bersama ke 10 anaknya, wah pasti rumah ini ramai sekali pada masanya. Pasti seru sekali suasana rumah ini pada waktu itu. Sewaktu semua penghuni masih hidup. Sering kali mamahku almarhum bercerita tentang masa kecilnya. Ya, mamahku anak terakhir dari 10 bersaudara. Bercerita bagaimana pada waktu itu ketika bulan puasa tiba, maka sehabis teraweh akan ada banyak anak – anak kecil yang bermain diluar dengan tidak menggunakan listrik, karena pada waktu itu listrik belum masuk desa ini. Apalagi ketika sedang terang bulan, wah halaman rumah akan menjadi area bermain anak di tengah padang bulan. Permainannya pun masih sangat tradisional diantaranya seperti lompat karet, congklak, cublak – cublak suweng, kelereng dan gobak sodor. Semua permainan aktif menggerakkan badan banyak dilakukan di masa itu. Pastinya berbanding jauh dengan anak jaman sekarang, era millenium yang serba tekhnologi. Rata – rata anak kecil hanya asik bermain di depan video game.

Senang sekali bisa berada di tempat ini pada bulan puasa, dan ini juga pengalaman pertama kalinya buatku berpuasa disini. Selama ini aku dan keluargaku pulang ke tempat ini juga hanya pada waktu setelah Idul Fitri.

Melaksanakan solat teraweh bersama penduduk Pemalang juga hal yang baru dan berkesan buatku. Berangkat naik sepeda menyusuri jalan ini untuk sampai ke masjid. Entah mengapa ada perasaan haru saat mengayuh sepeda menuju masjid.

Dan tak terduga, aku bersebelahan dengan teman mamahku sewaktu kecil. Awalnya beliau bertanya aku tinggal dimana, setelah aku beri penjelasan, beliau terlihat kaget, senang dan terharu karena bertemu dengan anak almarhum temannya.

Masjid di Desa Cibelok

Lalu hari berikutnya disana, aku bersilaturahmi mengunjungi saudara – saudaraku yang berada di Pemalang, dan nyekar ke makam keluarga. Disana juga ada makam mamahku. Melihat makan mamah, nenek, kakak, pade, bude dan saudara – saudaraku yang telah mendahului, ada perasaan yang mengingatkanku akan hal – hal baik yang telah mereka lakukan. Terlintas bayangan wajah mereka satu persatu, "ah Tuhan, tolong jaga mereka di sisi Mu". Jika memang ada reinkarnasi, kembalikan mereka ke keluarga kami lagi, wallahuallam.


Hari berikutnya lagi, aku pun bermain ke pasar malam bersama kakak sepupu dan keponakanku. Seru sekaliii.. sudah lama rasanya tidak bermain yang asik dan murah meriah. Jadi ingat masa kecilku sewaktu lapangan bola didekat rumahku belum dijadikan perumahan. Disana dulu sering diadakan pasar malam. Permainan kincir angin, ombak bayur sampai rumah hantu.. murah meriah dan tidak kalah asiknya dengan dufan. Sayangnya sejak lapangan merah itu dijadikan perumahan, area bermain murah meriah dekat rumahku pun semakin sempit.

Loket

Pasar Malam
  
Kincir Angin ala Pasar Malam

Serunya Ombak Bayur

Serius Mancing

Horeee

Area sederhana namun cukup menghibur penduduk desa ini. Semua anak – anak terlihat senang sekali bermain disini, termasuk keponakan – keponakan kecilku.

Bermain sepeda bersama keponakan sehabis solat subuh juga sesuatu yang menyenangkan. Mengelilingi kampung sampai melihat matahari terbit.. Satu yang terucap, “terima kasih Tuhan”.

Pagi dan Sepeda

Pagi dan Sawah

Malam minggu kami menghabiskan waktu dirumah saja karena sedang hujan besar. Lalu kami menghabiskan malam dengan berkaraoke ria.. 

Keesokannya aku pun bersiap kembali pulang ke Depok, semoga next time aku akan lebih lama lagi menikmati hari – hari disini. Harga tiket kereta ke Gambir / Jatinegara dengan menggunakan Senja Utama juga sudah naik, biaya sekitar Rp. 235.000,00 / orang untuk kelas bisnis, padahal biasanya harganya masih 150 ribuan rupiah. Mungkin karena suasana mau lebaran dan sedang weekend pula. Tapi harga tiket mahal tergantikan dengan rasa silaturahmi yang tinggi. Nikmatnya silaturahmi, kalau ada the power of kepepet, maka the power of silaturahmi juga seharusnya ada, karena setelah pulang dari silaturahmi kemarin, aku mendapat panggilan kerja di beberapa tempat.

Stasiun Pemalang

"Kata orang bijak silaturahmi itu dapat memperpanjang umur, yuk silaturahmi. Dengan tetangga, saudara atau siapapun itu, gunakan semangat silaturahmi maka langkah hidup akan terasa ringan"

Salam.