Minggu, 01 April 2012

Novel Zaman Gemblung

Rumah, 22 Maret 2012.

Mencoba berbagi cerita dengan novel yang pernah saya baca, cekidot.

Berjalan ke sebuah toko buku, mata saya pun tertuju pada satu novel berjudul Zaman Gemblung karya Sri Wintala Achmad. Novel yang mempunyai cover wayang cukup menarik perhatian saya.

“Bila zaman edan datang, banyak pemimpin akan berhati jahat, bicaranya ngawur, dan tak bisa dipercaya. Banyak perempuan yang kehilangan rasa malu. Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat. Banyak perampokan, pemerkosaan, dan pencurian. Alam pun akan ikut terpengaruh. Banyak terjadi gerhana matahari dan bulan. Gunung-gunung meletus, menurunkan hujan abu di mana-mana. Gempa bumi, banjir, angin ribut, hujan badai, dan salah musim kerap terjadi. Banyak kerusuhan tapi tak diketahui penjahatnya. Negara tidak memiliki kewibawaan. Semua tata tertib dan aturan telah diporak-porandakan…,” ujar lelaki tua itu. Ia lalu melepaskan caping dari kepalanya. Sinopsis yang sedikit namun sarat makna, mirip dengan kondisi dunia saat ini ya? Tanpa ragu pun saya membeli novel ini, semoga ada banyak manfaat yang bisa saya ambil.

Novel ini menceritakan kisah seorang yang bernama Bagus Burhan atau lebih dikenal dengan Ranggawarsita III. Beliau merupakan salah satu pujangga besar Nusantara dan kisah yang pernah beliau tulis tidak akan pernah mati tertelan arus zaman. Karena sebuah karya yang kuat, akan tetap abadi. Contoh karya besarnya diantaranya adalah Pustaka Purwa, Kalatidha, Jaka Lodhang, Sabdatama, Sabdajati, Cemporet, Hidayat Jati dan Suluk Jiwa. Lahir pada 15 Maret 1802 M di kampung Yasadipuran, Surakarta. Beliau lahir pada masa pemerintahan Pakubuwono IV (Raja Keraton Surakarta). 

Sudiradimeja (Ranggawarsita II) dan Nyi Ageng Pajangswara adalah kedua orangtuanya. Kedua orangtua Bagus Burhan masih keturunan bangsawan tanah Jawa. Sebelum kelahiran Bagus Burhan ke dunia, kakeknya sudah meramalkan bahwa cucunya kelak akan menjadi seorang pujangga terakhir yang mempunyai banyak kelebihan. Karenanya Sastranegara banyak mengarahkan Bagus Burhan dalam budaya, sastra dan agama. Ayah Bagus Burhan pernah bertanya kenapa harus menjadi pujangga? Kenapa bukan pejuang gagah yang duduk di gigir kuda di depan para penindas orang-orang kecil? Sastranegara pun menjawab, “Menjadi pujangga atau pejuang itu sama saja. Perbedaannya, pejuang adalah pembela kebenaran yang bersenjatakan tombak, keris atau bambu runcing, tapi pujangga adalah pejuang kebenaran bersenjatakan ujung pena. Kata-kata tajam lebih sakti daripada peluru”.

Sewaktu kecil, Bagus Burhan sering didongengkan cerita rakyat ataupun cerita wayang oleh kakeknya. Tapi beliau punya kebiasaan buruk yaitu gemar mengadu ayam. Hal ini sangat meresahkan kedua orangtuanya, sampai akhirnya kakeknya pun menyarankan agar Bagus Burhan di pesantrenkan dengan ditemani oleh Tanujaya, seorang abdi dalem yang dipercaya oleh ayahnya.

Dari situlah perjalanan hidupnya dimulai dan akhirnya beliau bertemu dengan para “guru” yang mengisi ilmu untuk bekal hidupnya. Dari satu daerah ke daerah lain, dari satu desa ke desa lain, dari satu rumah ke rumah lain beliau susuri untuk bertemu dan belajar dengan para pembimbingnya. Banyak wejangan, ngilmu dan ngelmu yang beliau terima dari setiap perjalanannya. Tapi untuk mendapatkan semua itu bukanlah hal yang mudah, banyak rintangan yang harus dijalani, seperti menyucikan diri dengan berpuasa dan bertirakat. Karena seseorang harus bersih terlebih dahulu jika hendak belajar tentang penyempurnaan hidup.

Salah seorang guru yang bernama Panembahan Buminata yang mengajarkan beliau pernah berkata, “Hati adalah pedoman. Jika tak khusyuk ciptanya, maka hati akan mengalami kekacauan. Hingga sang raja atas badan itu akan rusak. Jika hati hilang kesadarannya, maka akan hilang sifat kemanusiaannya. Jika sifat kemanusiaannya hilang, maka kalian tidak akan mendapatkan kebahagiaan”.

Dari perjalanannya beliau bertemu dengan Gombak yang akhirnya menjadi pendamping hidupnya. Beliau pun juga turut melawan penjajah, sebagian besar melalui karyanya. Penjajah di novel ini diumpamakan dengan tikus putih yang dengan semena-mena merebut kemakmuran negeri ini. merampas hasil bumi, memperkosa para wanita, mempekerjakan dengan kasar para pemuda dan membunuh siapa saja yang melawan.

Suatu saat di Pendapa Kadipaten Cakraningratan, Bupati Cakraningratan yang tak lain mertuanya pernah memanggil Bagus Burhan untuk menanyakan sesuatu tentang serat Jayabaya. Bupati Cakraningratan berkata kepada Bagus Burhan bahwa harus banyak mengenal karya para leluhur agar dapat menjadi pujangga sejati yang tidak pangling dengan warisan leluhur dan dapat mengilhami dalam berkarya, hingga karyanya nanti bukan hanya sekedar hadir, tapi mampu memaknai kehadirannya.

Mertuanya berkata, “Hanya dengan ingat kepada Sang Sumber Hidup dan waspada atas segala cobaan, manusia tak akan menjadi sampah yang terombang-ambing karena arus zaman gemblung”.

Serat Jayabaya melukiskan tanda-tanda zaman gemblung, zaman dimana banyak manusia bagai tersesat dalam hutan yang berselimutkan kabut pekat, mereka tak tahu arah, saling bertubrukan dan tak tahu mana emas mana kuningan. Zaman yang diibaratkan kesenangan dan kenikmatan dunia padahal sesungguhnya adalah zaman kehancuran dan kerusakan. Kemudian Bupati Cakraningratan pun berdendang tentang zaman gemblung:

Kereta berjalan tanpa kuda,
Tanah Jawa berkalung besi,
Perahu berjalan di udara,
Sungai kehilangan danaunya,
Pasar kehilangan keramaiannya,
Manusia menemukan zaman yang terbolak – balik,
Kuda suka makan sambal,
Perempuan mengenakan pakaian laki-laki,
Banyak ayah lupa dengan anaknya,
Banyak anak yang berani melawan ibunya.
Sesama saudara saling berkelahi,
Perempuan kehilangan rasa malunya,
Laki-laki kehilangan rasa kejantanannya,
Banyak perempuan yang tidak setia pada suaminya,
Banyak ibu yang menjual anaknya,
Banyak perempuan yang menjual dirinya,
Banyak orang yang tukar-menukar pasangan,
Sering terjadi hujan salah musim,
Banyak perawan tua,
Banyak janda melahirkan anak,
Banyak bayi yang mencari ayahnya,
Perempuan melamar laki-laki,
Laki-laki merendahkan derajatnya sendiri,
Banyak anak lahir diluar nikah,
Janda murah harganya,
Janda seharga satu sen dua,
Perawan senilai dua sen dua,
Duda pincang senilai sembilan orang.

Karena itu hanya dengan ingat kepada Sang Sumber Hidup dan waspada atas segala cobaan, manusia tak akan menjadi sampah yang terombang-ambing karena arus zaman gemblung, ujarnya seusai berdendang.

Dalam perjalanannya Bagus Burhan juga mendapatkan naskah Jawa kuno yang ditulis diatas kertas kayu seperti: Ramadewa, Bimasuci, Bharatayuda, Darmasarana dan Ajipamasa.

Beliau juga bergaul dengan beberapa pegawai Belanda. Pada puncak karirnya Beliau pernah ditawari untuk menjadi guru bahasa Jawa di Belanda, namun berkat kepribadiannya beliau menolak dan lebih memilih untuk mengabdi pada Kerajaan Surakarta.

Suatu ketika Bagus Burhan menggoreskan tinta melalui ujung pena, kata demi kata menjadi kalimat, kalimat demi kalimat menjadi bait, bait demi bait menjadi puisi yang melantangkan suara kebenaran dibalik gemuruhnya zaman gemblung, berikut sepenggal karya dari sebagian karya besarnya:

Keadaan negara waktu sekarang,
Sudah semakin merosot,
Keadaan tata negara telah rusak,
Karena sudah tak ada yang dapat dijadikan panutan,
Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah serta aturan-aturan lama,
Orang cerdik cendikiawan telah terbawa arus zaman gemblung,
Suasananya sangat mencekam,
Karena dunia penuh dengan kerepotan.

Selain bercerita tentang perjalanan hidup Ranggawarsita dalam novel ini pun disisipkan cerita Bharatayuda, cerita wayang dan semar. Dan pula dituliskan dalam novel ini silsilah raja-raja Jawa.

Hanya manusia berpengetahuan luas yang dapat membekali jiwanya untuk selalu ingat dan waspada. Karenanya selagi muda mengembaralah seperti burung. Hinggaplah pada setiap sarang kumbang. Cecaplah madu pengetahuan. Beliau merupakan pujangga terakhir karena beliau hidup di penghujung abad lama karena masa sesudahnya merupakan zaman baru. Saat itu kebudayaan Jawa mengalami kontak langsung dengan kebudayaan Barat. Ranggawarsita III sangat pantas dijuluki sebagai seorang pujangga besar (terakhir) dengan karya-karyanya yang bersifat kejawen dan bersumber pada budaya Jawa.

Tulisan diatas merupakan sebagian kecil rangkuman dari novel ini. Semoga mewakili rasa keingintahuan akan perjalanan hidup dari seorang yang menjadi salah satu sejarah negeri ini.

Salam.